SWARAKYAT.COM - Ketegangan memuncak di Ibu kota Norwegia, Oslo ketika seorang pengunjuk rasa anti-Islam merobek-robek dan meludahi halaman-halaman Alquran.
Kepolisian Norwegia sampai menembakkan gas air mata untuk
memisahkan dua kelompok yang bentrok.
Sedikitnya ada 30 orang yang ditangkap polisi Norwegia.
Akibat bentrokan itu, unjuk rasa anti-Islam di Oslo pada Sabtu (29/8) membuat
acara itu diakhiri lebih awal dari jadwalnya.
Seperti dilansir Deutsche Welle (DW) pada Ahad (30/8), unjuk
rasa anti-Islam itu diorganisir kelompok Stop Islamisasi Norwegia (SIAN) di
dekat gedung parlemen Norwegia.
Sementara itu dilaporkan kantor berita DPA ratusan pengunjuk
rasa lainnya juga berkumpul dengan meneriakkan tidak ada rasis di jalanan kami.
Situasi ini pun memuncak ketika seorang wanita yang
merupakan anggota SIAN merobek halaman Alquran dan meludahinya. Wanita itu
sebelumnya pernah didakwa kemudian dibebaskan atas ujaran kebencian.
Dalam unjuk rasa itu, wanita tersebut mengatakan pada para
pengunjuk rasa "lihat sekarang saya akan menodai Alquran,"
Bentrokan pun tak dapat terhindarkan antara pengunjuk rasa
anti-Islam yang dimotori SIAN dengan kelompok yang kontra.
Kelompok yang kontra melemparkan telur kepada anggota SIAN
dan mencoba melompati barikade polisi.
Sementara itu aparat menembakkan semprotan merica dan gas
air mata untuk memisahkan kelompok-kelompok yang bentrok. Pada akhirnya SIAN
mengakhiri unjuk rasa lebih awal dari yang direncanakan.
Dunia pun terkejut atas kejadian ini. Mengapa?
Karena selama ini Swedia adalah negara yang termasuk paling
makmur di Eropa yang dengan tangan terbuka menerima kedatangan pengungsi dari
negara berpenduduk Muslim akibat perang di Timur Tengah. Selama ini mereka aman
dan nyaman di sana. Tak ada gangguan apa pun.
Namun, utamanya pada dua dekade terakhir, khususnya dua
tahun terakhir, terlihat ada perubahan sikap dari masyarakat negara itu,
umumnya sikap orang Eropa lainnya. Mereka melihat imigran Muslim adalah biang
segala masalah. Maka, mau tidak mau identitas Islam ikut terbawa. Akibatnya,
secara perlahan --bahkan semakin kuat -- Islamofobia menguat di negara itu dan
juga di negara Eropa lainnya.
Alquran Diludahi dan Dibakar di Swedia, Kita Sekarang Hidup
di Masa Islamofobia
Apa itu Islamofobia?
Runny Trust dalam laporannya 'A Challenge For Us All '
menulis Islamofobia adalah sebuah permusuhan yang tidak berdasar terhadap
islam, sehingga akhirnya konsekuensi praktis dari ketakutan itu adalah
diskriminasi terhadap islam baik individu maupun komunitas.
Propaganda Islamofobia bukanlah perkara baru. Bila kita
menilik sejarah, sebenarnya propaganda Islamofobia sudah ada sejak zaman dahulu
kala.
Sejarah mencatat propaganda Islamofobia sudah muncul di era
Rasulullah di masa silam.
Berbagai bentuk hinaan, ancaman, dan kekerasan menghantam
perjalanan dakwah Rasulullah. Kita akan teringat ketika orang orang kafir
Quraisy menghina Rasulullah sebagai orang gila dan tukang sihir.
Propaganda Islamofobia sendiri di sinyalir merupakan upaya
yang di lakukan orang orang kafir untuk membendung kekuatan kaum muslim yang
semakin lama semakin berkembang dan untuk mempersempit gerak juang islam dalam
mensyiarkan agama dan hukumnya.
Hal ini di karenakan kebencian orang orang kafir yang begitu
besar terhadap islam sejak zaman dahulu kala.
Menurut Asep Samsul M Romli dalam bukunya 'Demonologi
Islam', kebencian barat terhadap dunia
islam merupakan dendam historis akibat kekalahan pada perang salib yang
berlangsung selama 200 tahun dimana pihak salib mendapatkan kekalahan di
berbagai medan. (Wikipedia)
Kebencian ini berlarut larut hingga masakini bahkan semakin
bertambah terutama akibat pertumbuhan islam yang pesat di Eropa dan Amerika.
Seperti di ungkap oleh Pew Research Center sebuah kelompok
pencari fakta di Amerika, pada tahun 1973 penduduk muslim dunia sekitar 500juta
jiwa, namun saat ini jumlahnya naik sekitar 300 persen menjadi 1,57 miliar
jiwa. Tercatat satu dari empat penduduk dunia beragama islam.
Islamofobia ini jelas memantik perhatian berbagai pihak.
Salah satunya adalah Narzanin Massoumi. Dia dosen di University of Exeter di
Inggris dan co-editor “What Is Islamophobia? Racism, Social Movements and the State.”
Dalam harian The New York Times dia menulis opini bertajuk:
'Why Is Europe So Islamophobic?' dengan sub judul: 'The attacks don’t come from
nowhere'. Tulisan ini dimuat pada awal Maret 2020 silam.
Tulisan Massoumi tersebut kiranya cukup bisa menjelaskan
mengapa dan dari mana akar Islamofobia di Eropa pada umumnya dan bisa juga
dikaitkan di Swedia pada khususnya. Semoga tulisan ini menjadi renungan bagi
kita semua.
Begini tulisan itu selengkapnya:
Banyak negara Eropa mengawasi dan menginteli Muslim, seolah
mereka ancaman terhadap keberlangsungan bangsa. Sentimen anti-Muslim telah
bergerak komprehensif dari pinggiran masyarakat ke jantung pemerintahan.
Kita hidup di zaman Islamofobia. Pada bulan Februari, dua
serangan kekerasan terhadap Muslim terjadi di Eropa. Satu di Hanau, Jerman,
lainnya di London, terjadi nyaris bersamaan dalam 24 jam. Meskipun situasinya
berbeda–penyerang di Hanau meninggalkan “manifesto” penuh dengan teori
konspirasi sayap kanan, sementara motivasi penyerang London tak meyakinkan buat
apa. Tetapi target mereka sama: Muslim.
Kedua peristiwa itu menambah daftar serangan kekerasan
terhadap Muslim di seluruh Eropa. Pada 2018 saja, insiden Islamofobia di
Prancis mengalami peningkatan 52 persen; di Austria naik sekitar 74 persen, dengan
terjadi 540 kasus. Itu merupakan puncak dari satu dekade serangan yang terus
meningkat pada umat Islam, dan sangat mengekspresikan sikap antipati yang
meluas kepada Islam. Sekitar 44 persen orang Jerman, misalnya, melihat adanya
‘kontradiksi mendasar antara Islam dan budaya serta nilai-nilai Jerman’. Angka
yang sama di Finlandia tercatat 62 persen, di Italia 53 persen. Menjadi seorang
Muslim di Eropa berarti tidak dipercaya, dan rentan.
Di seluruh benua biru itu, organisasi dan individu
Islamofobia telah mampu memajukan agenda mereka. Gerakan jalanan Islamofobia
dan partai politik menjadi lebih populer. Ide-ide mereka telah dimasukkan
ke–dan dalam beberapa kasus, diumpankan oleh lembaga negara modern, yang
mengawasi dan menginteli Muslim, menjadikan mereka sebagai ancaman terhadap
kehidupan bangsa.
Dari jalanan ke Gedung-gedung Lembaga negara, Islamofobia
dimasukkan ke dalam kehidupan politik Eropa.
Proses untuk menjadikan hal itu sudah berlangsung hampir 20
tahun. “Perang melawan teror”–yang memilih Muslim dan Islam sebagai ancaman
peradaban Barat, menciptakan kondisi Islamofobia yang tersebar luas. Secara
internasional, itu menyebabkan ketidakstabilan dan meningkatnya kekerasan, dengan
munculnya Negara Islam sebagai konsekuensinya. Di dalam negeri, baik di Eropa
dan Amerika Serikat, kebijakan kontraterorisme baru sangat lagi menargetkan
Muslim.
Di Inggris, misalnya, Anda 150 kali lebih mungkin dihentikan
dan digeledah di bawah jadual diberlakukannya 7 Uu Terorisme–undang-undang
kejam yang memungkinkan orang-orang harus dihentikan di pelabuhan tanpa
“kecurigaan yang masuk akal”, jika Anda seorang keturunan Pakistan, daripada
jika Anda berkulit putih. Kemudian ada juga kebijakan yang mengatasnamakan
“melawan ekstremisme”, yang fokus pada ancaman radikalisasi dan ekstremisme. Di
seluruh tempat di Eropa, termasuk di Uni Eropa, kebijakan semacam itu
memperluas pemolisian dan kontraterorisme untuk menargetkan ekspresi ideologi
politik dan identitas keagamaan. Dalam praktiknya, umat Islam sah diperlakukan
sebagai objek kecurigaan.
Dalam situasi penuh curiga ini, jaringan organisasi dan
individu yang berkhotbah tentang “ancaman” Islam telah berkembang. Dikenal
sebagai “gerakan kontra-jihad,” ia ada sebagai spektrum di seluruh Eropa dan
Amerika dari—sebagaimana Liz Fekete, direktur Institute of Race Relations,
“kekuatan pejuang jalanan di satu ujung dan konservatif budaya dan penulis
neokonservatif di sisi lain”. Di Eropa, kelompok-kelompok seperti Stop
Islamisasi Denmark dan Liga Pertahanan Inggris telah menjadi basis kekuatan
yang mendorong kekerasan terhadap Muslim.
Di Amerika Serikat, setidaknya ada lima organisasi yang
menggunakan Islamophobia sebagai isu dan cara hidup dan menghidupi, antara lain
Middle East Forum dan Center for Security Policy. Gerakan yang didanai apa yang
disebut Center for American Progress sebagai “Jaringan Islamophobia”, dengan
tautan kepada tokoh-tokoh senior dalam politik AS. (Kita sering menyebut mereka
para hawkish di sini—redaksi Jernih). Gerakan mereka yang sukses terlihat dari
apa yang disebut Donald Trump sebagai ‘Muslim ban’, sebagai ekspresi utama.
Terlebih lagi manakala partai-partai sayap kanan yang tumbuh
di sekitar Islamophobia dan politik kontra-jihad banyak yang terpilih dengan
sukses. Vlaams Belang di Belgia, Sweden Democrats di Swedia, Alternative for
Germany di Jerman, dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi partai dengan
dukungan publik yang besar. Ide-ide mereka kini telah berbaur dengan retorika
dan kebijakan partai-partai kanan tengah di seluruh Eropa.
Lihatlah, para pemimpin politik kanan-tengah, telah berulang
kali memperingatkan adanya ‘terorisme Islam’ (Kanselir Jerman Angela Merkel)
dan ketidakcocokan dengan antara nilai-nilai Eropa dengan ‘separatisme Islam’
(Presiden Emmanuel Macron dari Prancis). Bentuk-bentuk pelarangan jilbab Muslim
di berbagai ruang public–mulai dari larangan jilbab di sekolah-sekolah Prancis
dan pembatasan bagi guru di beberapa negara bagian Jerman, hingga pelarangan
langsung terhadap niqab yang menutupi wajah di ruang publik di Denmark, Belgia
dan Prancis, menunjukkan bagaimana sentimen anti-Muslim telah bergerak secara
komprehensif dari pinggiran masyarakat ke jantung pemerintahan.
Inggris-lah yang memimpin. Pada 2011, negara itu memperluas
ruang lingkup kebijakan counter-extremisme-nya yang dikenal sebagai Prevent,
untuk memasukkan manifestasi “tanpa kekerasan” dan juga “kekerasan”. Perubahan
itu dapat ditelusuri kepada elemen neokonservatif dari gerakan kontra-jihad.
Itulah hasil lobi Lembaga bernama Policy Exchange and the Centre for Social
Cohesion (kini bagian dari Henry Jackson Society). Keduanya secara luas
dianggap sebagai think tank kalangan neokonservatif, yang mengamankan jalan
untuk represi yang ada. Perluasan ruang lingkup kebijakan itu secara efektif
telah mengubah guru sekolah, dokter dan perawat menjadi bagian dari operasi
polisi, dan setiap Muslim menjadi ancaman keamanan potensial. Persis
sebagaimana ‘intelisme’ dalam novel George Orwell, ‘1984’.
Di Inggris, kita dapat melihat lingkaran setan Islamofobia,
yang direplikasi dalam beberapa bentuk di seluruh Eropa. Negara memperkenalkan
undang-undang yang secara efektif menargetkan kaum Muslim, yang pada gilirannya
mendorong dan memberanikan gerakan kontra-jihad–yang kebijakan-kebijakan
tertulis, polemik dan protesnya mendorong negara untuk memperluas legislasi,
yang semuanya mengkriminalkan identitas Muslim. Hasilnya tak lain untuk
mengipasi sentimen Islamofobia di masyarakat luas.
Likewise, the attacker in Hanau fixated on crime committed
by nonwhite immigrants and possessed what the German authorities have called “a
deeply racist mind-set.” Both drew from the groundswell of Islamophobic
rhetoric that has accompanied policies that single out Muslims for special
scrutiny. But both operated alone, and neither maintained links to any
organization or party. Their actions were their own.
Atmosfera seperti itu memunculkan kekerasan yang rumit.
Anders Breivik, orang Norwegia yang membunuh 77 orang pada tahun 2011,
menggambarkan pembantaiannya sebagai upaya untuk menangkal ‘Eurabia’—teori yang
dipopulerkan Bat Ye’or dan dengan bersemangat diambil alih Gerakan
Kontra-Jihad, bahwa Eropa akan dijajah dunia Arab. Para penyerang di Hanau,
bagi otoritas keamanan Jerman juga dilihat sebagai memiliki ‘pola pikir yang
sangat rasis’. Tetapi sejauh ini apparat menyatakan bahwa mereka tak tertaut
kepada organisasi atau pihak mana pun. Tindakan mereka “murni dilakukan mereka
sendiri”. Katanya.
Garis kebijakan untuk bertindak, dari retorika ke kekerasan,
sangat sulit untuk ditarik. Proses penyebaran Islamofobia ke seluruh masyarakat
Eropa merupakan proses yang kompleks, multicausal alias dikarenakan beragam
sebab, dan tanpa akhir.
Tapi itu tidak berarti semua itu ‘comes from nowhere’.