SWARAKYAT.COM - Presidium dan deklarator Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Din Syamsuddin, menanggapi ledekan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Dia menyayangkan kritikan kepada KAMI lebih banyak menyerang pribadi, bukan pada substansi masalah.
Sejak dideklarasikan 18 Agustus lalu, KAMI tak pernah lepas
dari sindiran dan nyinyiran. Macam-macam sindirannya. Teranyar, sindiran datang
dari Megawati saat memberi pengarahan kepada calon kepala daerah, Rabu
(26/8/2020). Mega menyebut acara deklarasi KAMI dihadiri banyak tokoh yang
ingin jadi presiden.
Seharusnya, menurut Megawati, para deklarator itu lebih dulu
mencari partai ketimbang membuat gerakan. Soalnya, sistem di Indonesia
mengharuskan calon kepala daerah apalagi presiden perlu memiliki dukungan
parpol.
Din menyayangkan, berbagai kritikan KAMI kepada pemerintah
tidak ditanggapi secara substansi. Dalam setiap kritikannya, KAMI mengajukan
pikiran-pikiran kritis dan korektif terhadap kehidupan berbangsa dan ber negara
yang menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945.
"Kenapa mereka tidak mau menanggapi isi tapi berkelit menyerang pribadi dan mengalihkan opini?" kata Din, belum lama ini.
Din lalu mempersilakan pihak yang menyerang KAMI untuk
menjawab berbagai persoalan yang diajukannya. Seperti tidak benarkah ada
oligarki politik. Atau tidak ada demokrasi sejati dalam partai politik karena
keputusan partai ditentukan oleh segelintir bahkan satu orang? Akibatnya DPR
dikendalikan oleh oligarki sehingga aspirasi rakyat terabaikan?
Atau, kata Din, tidak benarkah ada budaya politik dinasti,
yakni menyiapkan anak-cucu menjadi penguasa dengan menghalangi orang-orang lain
yang sebenarnya lebih berkualitas dan akibatnya demokrasi Indonesia tercederai?
Menurut Din, masih banyak pertanyaan substansif yang
mendasar lagi. namun untuk sementara dua pertanyaan itu sudah cukup banyak.
"KAMI menanti tanggapan, bukan pengalihan," ujarnya.
Din menegaskan KAMI siap berdiskusi bahkan berdebat mengadu
pikiran. "Terhadap reaksi yang tidak subtantif, baik dari para elite
apalagi buzzer bayaran, KAMI tidak mau melayani karena hal demikian tidak
mencerminkan kecerdasan kehidupan bangsa seperti amanat Konstitusi," pungkasnya.
Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, ikut mengomentari
kritikan Mega terhadap KAMI. "Kalau Bu Mega sudah mengomentari artinya
KAMI cukup diperhitungkan," kata Refly di akun Youtube miliknya.
Soal saran Mega agar para deklarator KAMI mencari partai,
Refly bilang begini. Kata dia, setiap warga negara punya hak menyampaikan
partisipasi sesuai konstitusi. Dan, itu tidak harus melalui partai politik.
Bisa melalui organisasi nonpemerintah (NGO) atau LSM. KAMI, menurut dia, tidak
bisa di bilang organisasi masyarakat. Karena tidak mendaftar sebagai ormas.
KAMI lebih pada gerakan moral.
"Jadi yang bertemu itu adalah ide, gagasan. Ide itu
yang mempertemukan orang-orang dalam KAMI," paparnya.
Selain itu, Refly membahas omongan Mega yang mengatakan para
deklarator KAMI banyak yang ingin jadi presiden. Kata dia, apa masalahnya
dengan ingin jadi presiden. Menurut dia, Mega sendiri pernah jadi presiden dan
selalu ingin jadi presiden. Paling tidak pernah nyapres dua kali bahkan tiga
kali. SU MPR 1999, Pilpres 2004, dan Pilpres 2009. "Kan tidak ada
masalah," ujarnya.
Kata dia, di luar negeri tidak ada yang nyalon sampai tiga
kali. "Jadi ingin jadi presiden sah-sah saja. Konstitusi tidak melanggar.
Yang dilarang presiden menjabat lebih dua kali," ungkapnya.