Pasalnya, kebijakan ini dikecualikan untuk tenaga honorer
dan pegawai outsourcing yang ada di instansi pemerintah. Selain akan
menimbulkan kecemburuan sosial di lingkungan Kementerian/Lembaga (K/L),
masyarakat di luar PNS juga dinilai akan merasakan hal serupa seperti kalangan
guru-dosen, hingga anak sekolah yang juga sangat bergantung dengan teknologi
informasi dan komunikasi (infokom) dalam melaksanakan kegiatannya di masa
pandemi.
Jika dibeda-bedakan seperti itu, pemerintah harus
betul-betul memperhatikan data calon penerima, tingkat transparansi hingga
akuntabilitas agar bantuan diberikan tepat sasaran. Padahal, dari berbagai
pihak banyak yang masih belum bisa mengoptimalkan bantuan kuota dari dana BOS.
Masih banyak siswa yang mengeluh belum bisa menggunakan bantuan dari dana BOS
tersebut. Harusnya pemerintah bisa mengetahui skala prioritas dari kebijakan
yang diambil.
Belum lagi soal kesejahteraan guru honorer di era pandemi.
Padahal peran mereka juga sangat vital, yaitu turut andil dalam menopang
pendidikan saat ini. Tetapi mereka selalu dianggap sebelah mata sehingga kesejahteraan
mereka bukan menjadi prioritas pemerintah. Padahal, di kehidupan normal saja
mereka sangat kesusahan, apalagi di era pandemi seperti ini.
Selain itu, infrastruktur di Indonesia belum merata, karena di pelosok-pelosok nusantara sendiri masih banyak yang belum terkoneksi internet. Jangankan internet, listrik saja masih banyak yang belum merasakan. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah fokus untuk memperbaiki infrastruktur dan penyediaan internet bagi para siswa. Toh, semangat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa itu sudah jelas terkandung di konstitusi, tepatnya di pembukaan UUD 1945. Jadi fokus saja dalam meningkatkan kualitas pendidikan daring, bukan nya membuat kebijakan yang aneh bin ajaib yang membuat kegaduhan.
Oleh: Rios Apriliyan Saputra
Menteri Sosial Masyarakat BEM Universitas Riau