SWARAKYAT.COM - Peristiwa G30S/PKI tak lepas dari sosok ketua umum PKI Dipa Nusantara (DN) Aidit.
G30 S/PKI merupakan aksi pengkhianatan para pembelot negara,
tepatnya pada malam di tanggal 30 September sampai 1 Oktober 1965.
Derita Keluarga DN Aidit Usai Peristiwa G30S/PKI, mulai dari
ayahnya Abdullah yang takut keluar rumah karena takut kena getah dari peristiwa
G30S/PKI hingga hingga meninggal dunia dan baru ditemukan tiga hari kemudian.
Kemudian istri Aidit, Soetanti yang meninggalkan ketiga anaknya.
Anak Aidit
Anak bungsu DN Aidit, Ilham yang masih kecil melihat tulisan
yang menyebut nama ayahnya, Ilham kecil langsung gemetar tubuhnya, dan
meyakinkan bahwa dirinya akan menjadi musuh negara.
Trauma dan ketakutan yang dialami Ilham kecil berdampak pada anak laki-laki ini
Ilham Aidit, anak DN Aidit menceritakan ketika peristiwa 30
September itu ia berusia 6,5 tahun.
Kala itu ia telah melihat tulisan di dinding besar
bertuliskan ‘Gantung Aidit’ seakan-akan sudah tahu jika kehidupannya ke depan
akan sulit.
“Entah kenapa seperti ada yang berbisik pada waktu itu,
kalau mulai dari hari ini hidup saya akan lebih sulit,” kata Ilham Aidit
menceritakan pada masa itu di Gedung Nusantara V DPR RI, Jakarta, Jumat
(1/10/2010).
Melihat tulisan yang menyebut nama ayahnya, Ilham kecil
langsung gemetar tubuhnya, dan meyakinkan bahwa dirinya akan menjadi musuh
negara.
“Padahal seminggu yang lalu bahkan sebulan sebelumnya saya
sempat bertemu dan bermain dengan ayah saya (DN Aidit),” ungkapnya.
Namun, nasib baik masih berpihak kepadanya, ternyata masih
ada orang yang mau mengangkatnya sebagai anak.
Meski demikian, saat ia menempuh pendidikan SMP, banyak
teman yang mengejek dirinya pakai kata ‘Aidit gantung.’
Hal itu membuat dirinya marah dan kerap berkelahi.
Hingga kemudian, ia dipanggi oleh Pastur di sekolahnya.
Pastur itu mengatakan, ia tahu latar belakang Ilham dan
cerita masa lalunya.
“Ia mengamati raport saya setiap catur wulan selalu baik,
dan ia menasehati saya banyak hal,”imbuhnya.
Setelah itu, ia mengaku berupaya keras untuk mengubur nama
Aidit yang berada di belakangnya.
Bahkan setiap kali ia akan menulis nama, ia selalu berhenti
lama untuk ingin menuliskan nama Aidit di belakangnya, tetapi hal tersebut
selalu diurungkannya dan selalu berusaha menutup serapat-rapatnya.
“Kalau saat mengisi nama dalam kertas ujian, saya selalu
lama menulis nama Aidit di belakang nama saya,” katanya mengenang saat itu.
Setelah 44 tahun akhirnya pada tahun 2003, ia mulai bisa
menuliskan nama lengkapnya Ilham Aidit setelah dirinya bergabung dalam Forum
Silaturahmi Anak Bangsa.
“Saat itu saya bergandengan dengan Amelia (Anak Jenderal
Achmad Yani) dan saat itu Kompas menulis nama saya dengan lengkap. Itulah awal
dari kehidupan yang baru,” ungkap Ilham Aidit.
Ketakutan Hingga Meninggal Satu Per Satu
Peristiwa G30S/PKI merupakan aksi pengkhianatan para
pembelot negara, tepatnya pada malam di tanggal 30 September sampai 1 Oktober
1965.
Dalam peristiwa itu tak lepas dari sosok ketua umum PKI Dipa
Nusantara (DN) Aidit.
Melansir wikipedia, DN Aidit merupakan pria kelahiran
Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung, pada 30 Juni 1923.
DN Aidit merantau ke Jakarta dan meninggalkan tanah
kelahirannya pada tahun 1940.
Ia sempat mendirikan perpustakaan Antara di daerah Tanah
Tinggi, Senen, Jakarta Pusat.
Kemudian, Aidit mempelajari politik Marxis melalui
Perhimpunan Demokratik Sosial Hindia Belanda.
Berawal dari situ, Aidit mulai berkenalan dengan tokoh
politik Indonesia seperti Adam Malik, Chaerul Saleh, Bung Karno, Bung Hatta,
dan Mohammad Yamin.
Pada tahun 1954, Aidit terpilih menjadi anggota Central
Comitee (CC) PKI pada Kongres PKI.
Selanjutnya, Aidit terpilih juga menjadi Sekretaris Jenderal
PKI.
Aidit sebagai pemimpin PKI membuat partai tersebut menjadi
partai komunis ketiga terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Cina.
Di zaman itu juga, PKI mempunyai program untuk segala
lapisan masyarakat seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI)
dan Lekra.
Pada 30 September 1965 terjadi peristiwa penculikan dan
pembunuhan yang dilakukan suatu kelompok militer pimpinan Let. Kol. Untung.
Dikenal sebagai Peristiwa G-30-S tersebut menuduh PKI di
balik peristiwa tersebut dan Aidit sebagai dalangnya.
Akibatnya, Aidit diburu oleh tentara.
Tak hanya kehidupan Aidit yang berubah semenjak saat itu
keluarganya juga menjadi sorotan masyarakat.
Berikut TribunJakarta.com sekilas kisah keluarga DN Aidit
setelah peristiwa G30S dikutip dari buku Aidit: dua wajah Dipa Nusantara, seri
buku Tempo: Orang Kiri Indonesia.
Ayahanda Aidit
Ayahanda Aidit, Abdullah menginap di kediaman sang anak
ketika malam 30 September 1965.
Saat itu, ia melihat DN Aidit dibawa pergi tiga tentara
bersama pengawal pribadi bernama Kusno.
Kala kejadian tersebut, sebenarnya ayahanda Aidit telah
menetap di Belitung.
Ayahanda Aidit melihat massa berteriak-teriak saat
mendatangi rumah DN Aidit.
Kejadian tersebut berlangsung saat hari ditemukannya lima
jenazah jenderal di Lubang Buaya.
Adanya peristiwa itu, ayahanda Aidit kerap menghibur
cucu-cucunya jika Aidit dan ibunda mereka akan pulang.
Putra bungsu Abdullah Aidit, Murad Aidit menyatakan, sang
ayah terbang ke Belitung kemudian dan menetap disana.
3 tahun setelahnya, sang ayah jatuh sakit dan meninggal
dunia saat rumah kosong karena sang istri, menginap di rumah saudaranya.
Tetangga tak mengetahui jika Abdullah telah meninggal dunia
karena jarang ke rumah tersebut, takut terkena getah peristiwa G30S.
Hingga kemudian, jenazah Abdullah membusuk tiga hari.
Adik DN Aidit, Basri Aidit tengah bekerja di Kantor Central
Comittee PKI di Kramat, Jakarta Pusat ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi.
Sehari setelah kejadian, Basri ditangkap dan ditahan di
penjara Kramat.
Pada tahun 1969, ia kemudian dibuang ke Pulau Buru.
Basri keluar dari Pulau Buru di tahun 1980.
Selanjutnya, ia membeli rumah di kawasan Bogor, Jawa Barat
berkat bantuan keluarganya di Belitung.
Di Bogor, ia berkebun seraya mengajarkan bahasa Inggris
untuk anak tetangga.
DN Aidit, anggota dan Ketua Partai PKI. Disebut dalang
peristiwa G30S PKI 1965. (kissanak.wordpress.com/suratkabar.id)
Istri Aidit
Soetanti sedang bertengkar dengan suaminya ketika malam 30
September 1965.
Tanti ketika itu ingin Aidit tetap di rumah dan tak
mengikuti kemauan para penjemputnya.
Meski demikian, Aidit tetap pergi.
Tiga hari setelahnya, Tanti meninggalkan rumah dan tiga anak
lakinya.
Ternyata Tanti ketika itu menyusul suami ke Boyolali dan
bertemu Bupati Boyolali yang merupakan tokoh PKI.
Lalu, keduanya berangkat ke Jakarta dengan cara menyamar
sebagai suami istri.
Tak hanya itu, mereka juga mengambil dua bocah sebagai anak
angkat.
Awal sandiwara mereka ini sukses namun kemudian tetangga
mulai curiga karena sikap anak angkat yang tak pernah manja ke orang tuanya.
Hingga keduanya ditangkap.
Tanti mengalami perpindahan penjara dari satu penjara ke
penjara lainnya sampai tahun 1980, diantaranya tahanan Kodim 66 dan Penjara
Bukit Duri.
Lepas dari masa hukuman, Tanti sempat membuka praktek
sebagai dokter.
Meski demikian, ia mengalami sakit-sakitan dan meninggal
dunia tahun 1991.
Artikel ini telah tayang di tribunmanado.co.id dengan judul
Sosok DN Aidit Pimpinan PKI saat Peristiwa G30S, Nasib
Keluarga Memiriskan, Anak Sampai Ketakutan