SWARAKYAT.COM - Anggota DPR Fraksi PDIP, Arteria Dahlan, kembali berbicara terkait isu PKI yang sebelumnya diarahkan kepadanya. Menurut Arteria, tidak hanya dirinya yang tidak terima disebut sebagai cucu pendiri PKI Sumatera Barat, tetapi juga keluarganya ikut tidak terima dan ingin menempuh jalur hukum untuk mengusut pembuat fitnah tersebut.
Arteria berharap semua pihak yang berusaha memfitnah atau
menista dengan informasi tidak benar tersebut untuk meminta maaf. Para pihak
yang melontarkan ucapan tak benar tersebut diharapkan dapat mengklarifikasi
bahwa perbuatan dan informasi yang mereka sebarkan tidak benar.
"Keluarga memang masih berat dan meminta untuk tetap
dilakukan upaya hukum, tapi saya berpikir lain. Saya ingin mengimbau untuk kita
semua untuk berhenti menyebarkan berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian
terlebih dengan memainkan isu PKI, isu agama, maupun isu SARA," kata
Arteria kepada wartawan, Selasa, 22 September 2020.
Arteria mengatakan bagaimana jika fitnah ini terjadi kepada orang lain yang tidak memiliki fasilitas untuk memberikan klarifikasi dan hanya dihakimi secara sepihak. Dampaknya dapat membuat sosok yang bersangkutan 'mati' secara politik.
"Tentunya sebagai anggota Badan Sosialisasi MPR RI,
saya memiliki kewajiban moral sekaligus kewajiban politik untuk memastikan
bahwa isu-isu terkait dengan politik identitas harus segera diantisipasi dan
dicermati secara lebih mendalam, karena di samping mengusik rasa kerukunan di tengah
kebhinekaan kita, juga berpotensi menyerang keutuhan eksistensi NKRI,"
ujarnya.
Politikus asal Sumatera Barat itu mengaku bersyukur,
diberikan kesempatan untuk mempelajari negara-negara yang pernah besar yang
luluh lantah dan porak poranda akibat isu SARA dan politik identitas.
Diharapkan hal itu tidak terjadi di Indonesia.
"Semoga permasalahan-permasalahan terkait politik
identitas termasuk juga pengulangan atas isu-isu rutin tahunan seperti PKI di
bulan September yang selalu menyerempet PDIP dapat segera dihentikan,"
ujarnya.
Arteria juga mengungkapkan dirinya juga sempat mengalami hal
yang serupa saat keluarganya dituding lekat dengan stigma PRRI. Namun
pascareformasi, Indonesia sudah memiliki TAP MPR Nomor 1 Tahun 1998, di mana
semuanya sudah diatur secara tegas dan berkepastian hukum.
"Sudah saatnya, berpikir waras tunjukan soliditas
semangat kesetiakawanan untuk melawan krisis global di tengah pandemi Covid-19,
jangan kita terbelenggu dengan menghalalkan segala cara sekadar untuk
mendapatkan kekuasaan sesaat," ujarnya. []