SWARAKYAT.COM - Ahli Hukum dan Tata Negara, Refly Harun menyoroti sikap pemilik Grup Djarum, Budi Hrtono, yang mengirim surat ke Presiden Joko Widodo tentang penolakan pemberlakuan PSBB DKI Jakarta oleh Gubernur Anies Baswedan.
Refly menilai bahwa sikap orang terkaya di Indonesia itu
kurang patut dilakukan oleh seorang pebisnis kepada pejabat publik.
Menurut Refly, yang dilakukan Budi Hartono dengan mengirim
surat ke presiden menimbulkan pertanyaan besar bagi masyarakat Indonesia.
"Kalau partisipasi masyarakat, semua orang boleh
mengirimkan surat ke presiden karena bagian dari bentuk aspirasi, baik tulisan
maupun video. Paling tidak itu diaspirasikan," kata Refly dikutip dari
kanal YouTube Refly Harun, Senin (14/9/2020).
Namun, langkah mengirim surat itu dinilai tidak lazim jika
dilakukan oleh seorang Budi Hartono.
"Tetapi kalau itu yang mengirim adalah orang terkaya
Budi Hartono, kok bisa? Agak kurang lazim," ujar Refly.
Ia lantas mencuriai ada hubungan tertentu antara Bos Djarum
itu dengan Presiden Jokowi.
"Jangan-jangan berjasa banyak terhadap kemenangan
Jokowi. Sebab mereka tidak sendirian, bisa bersama-sama rekan lainnya untuk
mempengaruhi politik Indonesia," tukas Refly.
"Makanya saya getol untuk menghapus presidential
threshold di Indonesia, agar peran orang-orang berduit ini makin berkurang.
Apalagi seperti yang disampaikan Mahfud MD di mana 92 persen Pilkada di-backup
para cukong," sambung Refly.
Refly menilai bahwa surat tersebut bisa saja memiliki
kekuatan untuk memberi efek terhadap jalannya pemerintahan.
"Surat ini menjelaskan hubungan baik, surat ini
dianggap bisa powerfull," kata Refly.
Budi Hartono mengirimkan surat kepada Presiden Jokowi guna
memberikan masukan menyangkut rencana pemberlakuan kembali PSBB total oleh
Gubernur Anies mulai Senin 14 September 2020.
Dalam suratnya yang diunggah oleh mantan Duta Besar RI untuk
Polandia, Peter F. Gontha, menjelaskan kenapa dia menilai keputusan untuk
memberlakuan PSBB total tidak tepat.
Pertimbangannya, pertama, hal ini disebabkan PSBB di Jakarta
selama ini terbukti tidak efektif dalam menurunkan tingkat pertumbungan
infeksi.
Dalam surat itu disebutkan, di Jakarta, meskipun pemerintah
telah melakukan PSBB tingkat pertumbuhan infeksi tetap masih naik.
Kedua, RS di Jakarta tetap akan mencapai maksimum
kapasitasnya dengan atau tidak diberlakukan PSBB lagi.
Hal ini disebabkan seharusnya pemerintah daerah atau pusat
harus terus menyiapkan tempat isolasi mandiri untuk menangani lonjakan kasus.
Menurut Budi, melaksanakan PSBB yang tidak efektif
berpotensi melawan keinginan masyarakat yang menghendaki kehidupan new normal,
hidup dengan pembatasan, memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, dan
lain-lain.
Tidak hanya itu, dalam surat tersebut juga tertulis bahwa
masyarakat lebih takut kehilangan pekerjaan dan pendapatan serta kelaparan
daripada ancaman penularan covid-19. (*)