SWARAKYAT.COM - Usia bukan menjadi suatu halangan untuk mengingat sejarah. Hal itu masih melekat pada sosok Kapten CPM (Purn) Sanjoto, seorang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) di Kota Semarang.
Ya, meski usianya sudah menginjak 90 tahun, namun ingatan Kapten Sanjoto belum pudar saat menceritakan bagaimana dirinya terlibat langsung memburu DN Aidit, pentolan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang paling bertanggung jawab atas peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau yang dikenal dengan sebutan G30S/PKI.
Sanjoto mengungkapkan, bagaimana detik-detik penggerebekan
terhadap DN Aidit dan gerombolannya saat singgah di Kota Semarang, seminggu
setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965.
“Sebuah rumah di Jalan Belimbing Raya No 34 Peterongan,
Semarang diketahui menjadi tempat singgah DN Aidit dan gerombolannya,” ungkap
Sanjoto mengawali ceritanya kepada SINDOnews.
Sanjoto yang saat itu masih berpangkat Peltu menuturkan,
satu minggu setelah peristiwa G 30 S/PKI dirinya mendapat pemberitahuan dari
pusat dan panglima bahwa yang mengendalikan G30S itu adalah PKI.
“Atas perintah panglima (Kodam IV/Diponegoro saat itu) sama
komandan saya (Kolonel Sumaedi) diperintahkan regu saya dan pimpinan saya
mampir ke Kodim Semarang. Namun saat itu Komandan Kodim yang baru tak ada, yang
ada kepala stafnya namanya Mayor Riyadi,” ungkapnya.
“Loh ada apa pak, saya itu diperintahkan sama komandan saya
mencari rumah di Peterongan yang digunakan transit DN Aidit cs dari Jakarta.
Wah kebetulan itu depan rumah saya banyak kendaraan. Saya lari ke sini sama pak
Wiradi (almarhum) di situ bendera-bendera PKI itu banyak. Dari sejumlah
tetangga bilang kalau 2 jam lalu sudah berangkat (melarikan diri). Waduh
ketinggalan,” beber Sanjoto yang saat itu sebagai anggota Intel Pomdam.
Ketika DN Aidit singgah di rumah Jalan Belimbing, dia telah
mempersenjatai diri menjaga segala kemungkinan jika ada perlawanan dari
komplotan PKI. (Baca juga: Mahfud MD Ngaku Selalu Nonton Film G30S PKI, Ini
Alasannya)
“Waktu Aidit transit, saya dengan senjata lengkap, bawa 2
senjata salah satunya pistol. Saat perburuan waktu itu, saya bersama dengan 2
anggota kodim dan 3 anggota CPM,” sebutnya.
Ia menambahkan, ketika itu dirinya secara kebetulan telah
membaca keadaan di dalam ruangan. Ternyata rombongan DNA (DN Aidit) pergi ke
timur (Solo). “Lantas saya telepon sama komandan, saya laporan bahwa 2 jam yang
lalu sudah tak ada, lari ke timur. Di Solo komandan saya telepon Dandenpom Solo
dijawab sudah diberondong (tertangkap di Solo),” tutur kakek yang lahir pada 17
November 1930 ini
Kini, rumah yang sempat menjadi persinggahan gembong PKI itu
ditempati Sanjoto bersama istri dan keluarganya. Menurut pengakuannya, Sanjoto
menempati rumah di Jalan Belimbing Raya 34 Peterongan sejak tahun 1969.
Namun demikian, saat itu rumah dalam kondisi kosong dan
sempat disita negara. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, rumah tersebut kembali
bisa ditempati Sanjoto setelah pemerintah mengetahui jika dirinya merupakan
pejuang veteran kemerdekaan RI.
Untuk diketahui, Kapten Sanjoto juga pernah terlibat dalam
Dwikora mengawal Jenderal Ahmad Yani di Singkawang, Kalimantan Barat. Dia
adalah prajurit Corps Polisi Militer (CPM) yang ikut serta mengamankan dan
mengawal Jenderal Ahmad Yani dan sejumlah perwira tinggi lainnya dalam
persiapan konfrontasi dengan Malaysia.
Sanjoto juga mengisahkan ikut berperang di usia 12 tahun. Ia
bergabung dengan organisasi kepemudaan atau Angkatan Muda Surakarta. “Saat itu
saya ikut mengusir penjajah Jepang. Pokoknya ikut saja dan tidak pernah takut
mati, terutama saat mendapatkan senjata bekas Kempetai atau Polisi Militer
Jepang. Saya membawa senjata Arisaka dan pistol Nambu buatan Jepang.
kemana-mana bersama pemuda lainnya saya bawa senjata itu,” beber dia.
Baru setelah merdeka, Sanjoto masuk dalam barisan Badan
Keamanan Rakyat (BKR) cikal bakal TNI. Dia mendapat pangkat Letnan Muda, meski
tak pernah menyandang pangkatnya di pundak maupun lengan bajunya.
Bertugas sebagai pasukan pengawal, Sanjoto pernah
mendapatkan perintah mengawal dan menyeberangkan Panglima Besar Jenderal
Soedirman saat bergerilya di wilayah Wonogiri hingga masuk Jawa Timur. Gerilya
dengan keluar-masuk hutan dilakukan bertahun-tahun saat pendudukan Belanda. Dia
memimpin pasukan hingga pernah melakukan peledakan bom yang di jalan yang
dilintasi konvoi panser Belanda.
Sanjoto kemudian masuk dalam barisan Corps Polisi Militer
dengan pangkat Sersan Satu. “Berulang kali saya juga melakukan pengawalan
sampai pada Jenderal Ahmad Yani. Saat membentuk Batalyon Banteng Raiders di
Bulakamba Tegal pun saya juga ikut terlibat pengawalan. Sampai kedatangan Bung
Karno saya juga yang mengawalnya,” ceritanya.
Sementara itu, terkait kondisi rumah saat itu, ungkap
Sanjoto, memang rusak parah. Di dinding terdapat peta yang ditujukan bagi
pengikut petinggi PKI DN Aidit untuk kabur.
"Setelah itu saya kan tinggal di hotel. Karena saya
perwira, jadi tinggal di hotel. Komandan saya kemudian memberikan rumah itu
kepada saya. Rumahnya rusak parah, kemudian saya perbaiki dan tempati sejak
tahun 1969," ujarnya.
Namun bangunan rumah yang bertembok bertahun-tahun sejak
ditempati masih tampak sering bocor saat hujan datang. Beberapa bagian atap
juga sudah ambrol dan temboknya retak.
Kini, rumah yang ia tempati mulai dilakukan renovasi. Saat
SINDOnews mengunjungi lokasi rumah di Jalan Belimbing Raya No 34
Peterongan,Senin (28/9/2020) tampak aktivitas sejumlah pekerja melakukan
pembongkaran beberapa bagian bangunan yang memang sudah tak layak.
Ya, pembongkaran ternyata baru dilakukan pada Senin
(21/9/2020) oleh pihak REI Komisariat Semarang & Solo bersama Denpom IV/5
Semarang. Dan ditargetkan selesai pada 10 November 2020 bertepatan dengan
momentum Hari Pahlawan.
Sebelum direnovasi, Sanjoto sempat dikunjungi Gubernur
Jateng Ganjar Pranowo saat gowes ke daerah Peterongan Semarang Selatan. Saat
bertandang ke rumah mantan pengawal dan pengaman rute gerilya Panglima Besar
Jenderal Sudirman saat di Wonogiri 1948, Ganjar merasa prihatin menyaksikan
rumah Sanjoto yang sudah tak layak huni.
Ganjar yang datang bersama Dandenpom IV/5 Semarang Mayor CPM
Okto Femula, mengutarakan ingin merehab rumahnya yang rusak parah. Gubernur
menunjuk Dandenpom IV/5 Semarang untuk mengatur proses rehab atau bedah rumah
dan akhirnya menggandeng REI Komisariat Semarang dan Solo untuk menangani.
“Kami langsung bertindak cepat dengan menggandeng REI
Semarang dan Solo. Kebetulan mereka adalah mitra kami yang selalu memberi
support untuk rehab rumah veteran maupun asrama prajurit. Dibantu dengan CSR
mereka lah kita akan bisa mewujudkan harapan Pak Sanjoto tinggal di rumah yang
layak,” ucap Mayor CPM Octo Femula.[]