SWARAKYAT.COM - Kredo demokrasi: Dari Rakyat, Oleh Rakyat, Untuk Rakyat, tampaknya perlu segera di revisi.
Khusus untuk Indonesia, harus segera diubah. Tidak
menggambarkan realitas sesungguhnya. Yang lebih tepat: Dari Cukong, Oleh
Cukong, Untuk Cukong!
Kredo itu lebih sesuai, pas dengan realitas, fakta, dan data
praktik rezim pemilu langsung yang kini tengah diterapkan di Indonesia.
Menko Polhukam Mahfud MD dalam Webinar dengan pusat studi
Pusako FH Universitas Andalas, Padang (11/9/2020) mengungkapkan 92 persen calon
kepala daerah dibiayai cukong.
Akibatnya sudah bisa diduga. Ketika terpilih muncullah
korupsi kebijakan. Sebuah modus korupsi yang jauh lebih berbahaya dibandingkan
dengan korupsi uang.
"Korupsi kebijakan itu lebih berbahaya dari korupsi
uang. Kalau uang bisa dihitung, tapi kalau kebijakan dalam bentuk lisensi
penguasaan hutan, lisensi-lisensi penguasaan tambang yang sesudah saya periksa
itu tumpang-tindih," kata Mahfud.
Dari sisi UU, pemberian lisensi itu legal. Karena seorang
kepala daerah boleh memberi konsensi tambang kepada pengusaha dengan
memperhitungkan prosentase luas wilayah.
Pada praktiknya, kata Mahfud, lisensi itu diberikan lebih
luas dari yang seharusnya. Bahkan tak sedikit kepala daerah juga berinisiatif
membuka izin baru bagi para cukong yang pernah membantu membiayai masa kampanye
ketika Pilkada sebelumnya.
Entah mendapat data dari mana, sehingga Mahfud MD bisa
menyebut angka pasti 92 persen? Tetapi apa yang disampaikan Mahfud dijamin
sahih. Mungkin kalau ada yang meleset, hanya pada jumlah presentasenya.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mengungkapkan data yang
tak jauh berbeda.
Dari sebuah riset yang dilakukan oleh KPK, 82 calon kepala
daerah dibiayai oleh cukong dan sponsor. Dari situlah korupsi berpangkal.
Para cukong ini tidak memberikan dana secara gratis. Seperti
perjanjian dengan setan. Perjanjian orang yang mencari pesugihan, kekayaan di
tempat-tempat keramat!
Untuk daerah yang memiliki potensi tambang, atau hutan
mereka meminta imbal balik konsesi. Mulailah mereka menjarah habis tambang dan
hutan.
Untuk daerah yang tidak memiliki potensi sumber daya alam
(SDA) mereka mengincar berbagai kebijakan berupa kemudahan dan proteksi bisnis.
Sementara daerah yang tidak punya SDA, secara bisnis juga
tidak potensial, para cukong ini mengincar proyek-proyek APBD. Ini level
korupsi yang paling kere. Tapi tetap saja setimpal hasilnya.
Para cukong inilah yang akan membiayai semua keperluan
kandidat.
Mulai dari membayar tiket ke parpol, membayar lembaga
survei, media dan iklan media, buzzer, pembuatan atribut, pengerahan massa,
membayar aparat negara, sampai money politics.
Dalam banyak kasus,
para cukong ini membentuk konsorsium.
Mereka menjadi investor politik. Sebuah bisnis dengan keuntungan berkali
lipat!
Biasanya tahapanya dimulai dengan menyewa lembaga survei
untuk mendeteksi siapa kandidat yang paling potensial.
Dengan berbekal peta kekuatan kandidat, para cukong mulai mendekati kandidat.
Terciptalah kerjasama saling menguntungkan, berbuntut memainkan kebijakan.
Menguras, menghancurkan SDA dan menggarong anggaran negara.
Berapa besar dana yang dikeluarkan untuk seorang kandidat
kepala daerah?
Berdasarkan data dari Kemendagri untuk bupati paling sedikit
Rp 25 miliar. Itu untuk daerah miskin. Semakin besar wilayah dan jumlah
penduduknya, semakin besar biayanya. Angkanya mencapai ratusan miliar.
“Untuk pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” kata Plt
Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar
(03/12/2019).
Pilpres jauh lebih besar
Kalau untuk maju sebagai kanidat kepala daerah saja butuh
dana sampai triliunan, berapa besar dana untuk capres?
Angkanya jelas berkali lipat. Dipastikan tidak ada seorang
caprespun yang bisa membiayai dirinya sendiri.
Seorang peneliti dari sebuah lembaga survei pernah
menyebutkan, setidaknya dibutuhkan Rp 7 triliun. Jumlah itu sangat kecil.
Sangat konservatif. Tidak menggambarkan realitas sesungguhnya.
Sebagai gambaran saja, pada pilpres 2019 jumlah Tempat
Pemungutan Suara (TPS) sebanyak 10.329. Kalau rata-rata ada dua saksi, dengan
biaya saksi plus makan minum Rp 500 ribu, maka setidaknya membutuhkan dana Rp
405 miliar.
Belum lagi biaya untuk parpol, membeli media dan iklan,
pengerahan masa, transport keliling Indonesia, pengerahan massa, money
politics, dan biaya-biaya lain yang lebih kompleks, ruwet dan mahal dibanding
pilkada.
Jangan pernah percaya dengan biaya kampanye yang dilaporkan
tim sukses ke KPU. Kendati katanya sudah melalui audit akuntan publik, tapi
semua itu hanya boong-boongan.
Bayar mahar ke parpol, money politics, pengerahan aparat
keamanan dll, pasti tidak pernah dilaporkan.
Apakah kandidat membiayai sendiri? Tentu saja TIDAK!!!
Pada Pilpres 2019 Tim Kampanye Prabowo-Sandi melaporkan
jumlah penerimaan dana kampanye sebesar Rp 191,5 miliar.
Dana Kampanye Prabowo-Sandi sebagian besar berasal dari
Cawapres Sandiaga Uno. Total sumbangan Sandi Rp116 miliar atau 61 persen dari
angka keseluruhan dana kampanye. Sedangkan Prabowo memberi sumbangan Rp71,4
miliar atau 34 persen dari total keseluruhan.
Sementara Tim Kampanye Jokowi-Ma’ruf pada 5 Maret 2019
melaporkan penerimaan dana kampanye sebesar Rp 130, 45 miliar.
Dana itu berasal dari sumbangan perorangan, badan usaha,
sumbangan dari parpol Dll. Tidak
disebutkan adanya sumbangan dari Jokowi dan Ma’ruf.
Itu hanya laporan di atas kertas. Biaya kandidat jauh lebih
besar. Puluhan triliun.
Disitulah para cukong berperan. Mereka membentuk konsorsium
dari kalangan taipan yang telah menjelma menjadi oligarki. Mereka kemudian
mengendalikan kebijakan politik, ekonomi dan hukum negara.
Jejaring dan kuku tajam mereka telah menancap kuat tidak
hanya di kalangan eksekutif, yudikatif, para penegak hukum, dan eksekutif.
Ketua MPR Bambang Soesatyo secara terbuka pernah mengakui.
Dengan bermodal Rp 1 triliun, cukong bisa menguasai Parpol. Artinya mereka bisa
menguasai parlemen dan pemerintahan.
Kalau begitu dengan menggunakan pisau analisa Mahfud MD,
berapa persen kandidat capres yang dibiayai cukong?
Jawabannya 100 persen! Tapi kalau mau konservatif, dengan asumsi hanya ada dua pasang capres
seperti pada Pilpres 2019, maka setidaknya 50 persen!
Cuma harus dicatat. Di kalangan pebisnis, apalagi investor
politik ada adagium “Jangan pernah menaruh semua telur dalam satu keranjang.”
Dengan kandidat hanya dua calon, buat mereka lebih mudah
membagi telurnya dalam dua keranjang. Hanya jumlah dan besarnya saja yang
berbeda-beda. Tinggal baku atur.
Siapapun yang menang, para cukong akan tetap berkuasa.
Demokrasi Indonesia: DARI CUKONG, OLEH CUKONG, UNTUK CUKONG!
MERDEKAAAAA!!
end.
Oleh Hersubeno Arief