SWARAKYAT.COM - Negara jadi kacau. Kekacauan itu hampir di semua aspek. Kita mulai dari aspek hukum. Aparat, bahkan institusi hukum terlibat jauh dalam politik. Gak bisa dibantah itu. BIN pamer operasi. KPK dimatikan untuk menyelamatkan orang – orang besar dan kasus besar. Beruntun RUU diusulkan dan UU diterbitkan untuk melindungi kepentingan korporasi dan oligarki. UU Minerba, UU Corona, RUU Omnibus Law dan RUU HIP, meski telah secara masif mendatangkan gelombang penolakan dari rakyat, tetap saja dipaksakan.
Kekacauan juga terjadi di BUMN. PT. Jiwasraya kebobolan
belasan triliun. Pertamina rugi, komut mencak-mencak. Sebelumnya bilang
Pertamina merem aja untung. Eh rugi. Sekarang bilang data dari dirut gak bener.
Kacau!
Banyak BUMN dijaminkan untuk pinjaman pembangunan
infrastruktur. Diantaranya infrastruktur komersial. Artinya, dibangun untuk
dijual lagi. Total hutang luar negeri BUMN saat ini 835 T (USD 57,8 M). Naik
15,1% dari bulan Juli. Pada akhirnya, megap-megap untuk bayar hutang.
Pertumbuhan ekonomi minus 5,32. Berlanjut ke kuartal berikutnya. Artinya, terjadi resesi. Dampaknya diantaranya pada PHK. Angka pengangguran diperkirakan bertambah 4,2 juta (data bappenas). Itupun kalau bappenas jujur dan menggunakan standar wajar dalam menghitung.
Pemerintah dan DPR sepakat untuk cetak uang 600 T. Pakai
bahasa yang agak sedikit keren: burden sharing. Mungkin supaya orang awam gak
paham dan tidak menimbulkan gejolak. Cetak uang berlebihan dengan menempatkan
BI di bawah eksekutif rawan penyelahgunaan dan berpotensi menciptakan inflasi.
Kalau terjadi inflasi, siapa yang nanggung biayanya? Rakyat!
Anda saat ini beli kopi Rp. 2000. Tahun 2021 atau 2022, harganya “mungkin” bisa
naik jadi Rp. 5.000. Uang anda berkurang nilainya. Makanya, sejumlah orang kaya
menukar uangnya ke emas atau dolar.
Dengan UU Corona, muncul anggaran 905 T. Digunakan secara
bebas karena dilindungi UU No 2/2020. Bebas dari tuntutan pidana, perdata dan
TUN. Bukannya anggaran itu lebih banyak dipakai untuk atasi pandemi (kurang
dari 10%), tapi justru digunakan untuk injeksi korporasi dan perbankan.
Pandeminya cenderung diabaikan, dampak ekonominya yang terus sibuk diatasi. Ya,
seperti menuang air di ember bocor. Sia-sia! Dan sekarang baru siuman.
Kenapa BI gak beli saja SBN yang ada di tangan bank-bank
itu. Lalu turunkan suku bunga (BI rate) hingga 0-1% saja seperti di Singapura
(0%), Thailand (0,5%) dan Malaysia (1,75). BI rate saat ini masih 4%. Meski
sudah diturunkan 1% (dari semula 5%) dalam empat tahap, tapi tak mampu menahan
laju resesi. Dunia usaha tersendat karena suplay liquiditas terhambat, meski
demand besar. Para pengusaha juga gak mampu membayar cicilan bank, karena
besarnya bunga (8%, hingga di atas 10%).
Uniknya, uang nasabah bank terus bertambah. Artinya,
masyarakat lebih memilih menyimpan di bank dari pada menggunakannya untuk biaya
konsumsi. Makin parah lagi! Uang yang beredar di masyarakat makin kecil. Ini
akan memicu naiknya angka kemiskinan.
Kekacauan juga terjadi di panggung politik. Isinya para
buzzer yang dianggarkan 90.45 M. Masalah apapun sepertinya mau diselesaikan
lewat buzzer. Apapun penyakitnya, pasukan bodrek jadi obatnya. Ngeri!
Belum lagi ketika musim orang gila beroperasi. Sebaran teror
di berbagai wilayah, diantaranya di Lampung, Palembang dan Bogor, semakin
menambah kekacauan sosial.
Di jajaran kementerian, terjadi overlaping. Menkes banyak
diam, lahan corona diambil TNI dan menko Maritim. Kementerian Agama sibuk
mengurus radikalisme dan sertifikasi muballigh. Menteri pertahanan diberi tugas
untuk mengurusi ketahanan pangan. Makin kacau! Wapres? Presiden saja lupa
menyebut namanya saat pidato.
Soal pandemi, pemerintah gagal mengatasi. Negara lain mulai
terbebas, di negeri ini covid-19 justru makin mengganas. Rata-rata perhari
bertambah 3000-an orang terinveksi. Rate mortality nasional 4,1%. Ada 100 orang
setiap hari meninggal. Akibatnya, sudah 68 negara melock down Indonesia. Dalam
sialtuasi ini, pemerintah bukannya fokus menyelesaikan, tapi malah saling
menyalahkan.
Kekacauan bahkan sering muncul seiring dengan kebijakan
gubernur DKI. Dalam banyak kebijakan gubernur, pemerintah pusat seringkali
mengambil posisi sebagai oposisi. Bukan mendukung dan bersinergi untuk atasi
pandemi.
Ini hanya sebagian dari potret negara yang bernama Indonesia
saat ini. Sebuah kekacauan yang belum ada tanda-tanda untuk berhenti. (*)
Jakarta, 17 September 2020
Penulis: Tony Rosyid