SWARAKYAT.COM - Isu kesetaraan gender dan poligami merupakan permasalahan yang diperjuangkan organisasi-organisasi perempuan di Indonesia, termasuk Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Muhadjir Darwin dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 7, Nomor 3, Maret 2004 (283-294) menyebutkan isu poligami muncul ketika Sukarno yang merupakan simbol bapak bangsa dan telah beristri Fatmawati menikahi Hartini.
Perbuatan Sukarno ketika itu mendapat penentangan dari
organisasi perempuan yaitu Persatuan Wanita Indonesia (Perwani). Dalam Jurnal
berjudul Gerakan Perempuan di Indonesia dari Masa ke Masa itu, menurut Muhadjir
.
Gerwani yang merupakan sebuah organisasi massa dan
berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak menunjukkan
pembelaannya terhadap perempuan dalam masalah poligami atau dalam
memperjuangkan lahirnya undang-undang perkawinan karena kedekatan politik
Gerwani/PKI dengan Sukarno.
“Mungkin Presiden RI pertama tersebut dianggap sebagai
sekutu strategis bagi perjuangan komunis di Indonesia ketika itu untuk
menghadapi politisi Islam yang anti- komunis. Perlu juga dicatat bahwa Sukarno
pada awalnya sangat mendukung kaum perempuan,” kata Muhadjir dalam tulisannya.
Dari Laporan Pemantauan HAM Perempuan, Komisi Nasional Perempuan yang berjudul "Kejahatan Kemanusiaan Berbasis Gender: Mendengarkan Suara Perempuan Korban Peristiwa 1965" menyebutkan hubungan Gerwani retak dengan anggota federasi organisasi-organisasi perempuan di tingkat nasional, yaitu Kongres Wanita Indonesia (Kowani) dan juga dengan Gabungan Organisasi Wanita (GOW) di tingkat daerah lain yang berlatar belakang politik untuk mereformasi undang-undang perkawinan yang mensahkan poligami.
“Hubungan Gerwani dengan organisasi-organisasi perempuan
lain, terutama di tingkat pusat, tampaknya memiliki masalah sejak Gerwani
memutuskan untuk tidak mengecam pernikahan Sukarno dengan Hartini pada tahun
1954 walaupun sebelumnya Gerwani mengambil posisi yang tegas menentang
poligami,” sebut Laporan yang dicetak pada 2007 dengan tim penulis Ita F. Nadia
dan kawan-kawan tersebut.
Sementara itu, sejarawan I Gusti Agung Ayu Ratih mengatakan
keengganan Gerwani untuk mengkritik Sukarno antara lain karena tekanan dari
pihak organisas-organisasi kiri lainnya, terutama PKI, untuk tidak memperlemah
pemerintahan Sukarno.
Pilihan organisasi-organisasi kiri pada saat itu adalah
sepenuhnya mendukung Sukarno dalam membangun Front Nasional untuk menghadapi
kekuatan Neo-Kolonialisme dan Imperialisme (Nekolim) dalam rangka Konfrontasi
dengan Malaysia dan Pembebasan Irian Barat (sekarang Papua Barat).
“Pilihan Gerwani membuat organisasi-organisasi perempuan
lainnya, terutama Persatuan Wanita RI (Perwari), kecewa dan jengkel terhadap
aktivis-aktivis Gerwani karena mereka sebenarnya berharap kekuatan massa
Gerwani akan dapat menekan Sukarno untuk tidak melanjutkan praktik
poligaminya,” ujar Ayu Ratih yang sedang menyelesaikan S3 bidang Sejarah di
University of British Columbia kepada detikcom, awal pekan lalu, melalui surat
elektronik.
Sri Sulistyawati, seorang aktivis Gerwani mengatakan saat
itu Gerwani juga mengkritik rencana Bung Karno nikah lagi. Namun, menurut dia
keputusan Bung Karno menikahi Hartini adalah masalah pribadi. “Itu tanggung
jawab pribadi,” kata Sri kepada detikcom, Sabtu (14/9/2013) di Kramat VII,
Jakarta Pusat.
Apalagi, dia menegaskaan, saat itu Bung Karno berjuang keras
untuk mengajak kaum perempuan terlibat aktif dalam perjuangan melawan
neo-kolonialisme dan imperialisme.[]