SWARAKYAT.COM - Gubernur Lemhanas Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo menyatakan, baik negara maupun Partai Komunis Indonesia (PKI) dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam tindak kekerasan terkait Gerakan 30 September 1965 dan setelahnya sama-sama harus minta maaf. Ia juga menegaskan untuk dapat memahami aksi-aksi kekerasan setelah tragedi itu harus memperhatikan sepak terjang PKI sebelumnya dan peristiwa Madiun 1948.
Beberapa
waktu sebelum 30 September, kata Agus, PKI memaksakan serangkaian kebijakan
yang tak lazim untuk diterapkan di negara nonkomunis. Contohnya, PKI ngotot
ingin mempersenjatai kalangan tani dan buruh. Juga membentuk Angkatan ke-5,
landreform dengan kekerasan, serta mengadu domba antar ormas yang berafiliasi
ke partai Islam maupun nasionalis. Belum lagi aksi-aksi provokatif dan
kekerasan terhadap para ulama.
"Betul
negara harus minta maaf, tapi bukan kepada PKI. Negara juga harus meminta maaf
kepada saya, karena saya kehilangan ayah. PKI juga harus minta maaf kepada para
ulama yang menjadi korban," papar Agus kepada Tim Blak-blakan detik.com di
kantornya, Selasa sore (29/9/2020).
Untuk
diketahui, satu dari tujuh jenderal yang dibunuh PKI dan dibuang ke sumur di
Lubang Buaya adalah Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Dia adalah ayah dari Agus
Widjojo. Kala itu Agus Widjojo sendiri masih pelajar SMA.
Menurut
Agus, negara harus minta maaf karena negaralah yang menjamin untuk mencegah
sesuatu terjadi. Negara pula yang seharusnya menjamin keselamatan dan
melindungi warganya. Tapi pada 30 September 1965 dan sesudahnya, negara tidak
bisa mewujudkan peran tersebut dengan optimal sehingga jatuh banyak korban.
"Jadi negara juga harus minta maaf kepada semua korban," ujarnya.
Dia
berkeyakinan rekonsiliasi adalah jalan terbaik untuk mengakhiri dan
menyelesaikan persoalan kebangsaan terkait tragedi tersebut. Sayangnya, meski
sudah lebih dari 50 tahun para pihak yang terlibat masih lebih suka saling
menyalahkan dan tak mau introspeksi. Masing-masing pihak merasa sebagai korban
dan pihak lain adalah pelakunya.
Pada bagian
lain, mantan Kepala Staf Teritorial TNI dan Wakil Ketua MPR, 2001−2003, itu
berbicara soal reformasi TNI-Polri. Ia menilai itikad baik TNI untuk
mereformasi diri dengan mundur dari politik praktis agar menjadi militer
profesional justru tak mendapat sokongan penuh dari otoritas sipil.
Di sisi
lain, Polri hingga saat ini belum rela menyerahkan sebagian kekuasaannya iuntuk
kepentingan bangsa yang lebih besar. Kenapa?
Simak
selengkapnya dalam Blak-blakan Gubernur Lemhanas LetjenTNI (Purn) Agus Widjojo
di detik.com, Rabu (30/9/2020). []