SWARAKYAT.COM - Rakyat seluruh negeri saat ini sedang menunggu-nunggu sikap yang akan diambil Presiden Jokowi berkaitan dengan pernyataan rasis Ahok
Dendam terpendam Ahok pada kelompok masyarakat muslim
sepertinya tak cukup sampai pada kepongahannya memamerkan pembalasan yang
diyakininya mampu menyakiti perasaan seluruh orang islam, yakni "Bisa
Memurtadkan Muslimah" sebagai bentuk pembalasan rasa sakit hatinya.
Ahok dalam kengkara murkaannya, memendam terlalu sesak dalam
dadanya kebencian pada kelompok muslim sehingga jabatan Komisaris Utama
Pertamina pun tak mampu mem'blocking' lidah kotornya.
Ahok bukan tidak sadar bahwa dirinya diberikan jabatan
tinggi diperusahaan milik negara yang rakyatnya termasuk pihak-pihak yang ia
panggil dengan sebutan rasis tersebut,
Ahok sangat sadar dan sangat paham, namun lagi-lagi
tabiatnya yang petantang-petenteng dan gemar mengumbar tantangan sana-sini tak
mampu menahan mulutnya dari naluri keangkuhan yang memuncah memenuhi dadanya.
Jika memang profesional, seharusnya Ahok fokus saja
memerangi mafia migas di Pertamina, bukan malah membangun perang antar rakyat
seluruh indonesia yang tidak ada hubungan korelasinya sama sekali dengan urusan
pengelolaan Pertamina.
Pada akhirnya seluruh rakyat dapat melihat secara terang
benderang, bahwa KEBENCIAN Ahok terhadap Islam jauh melampaui profesionalitas
yang selama ini digembar-gemborkan pada dirinya. Sebutan "Kadrun"
dari lidah Ahok adalah busur panah yang dilecutkan pada kelompok muslim sebagai
ujaran kebencian.
Artinya, secara tidak langsung Ahok menyatakan silahkan
saling menyerang secara terbuka dan menarik garis batas yang tegas saling
berhadapan antara Kelompok Mu dan Kelompok Ku, kelompok Kadrun dan Bacin.
Jelas prilaku Ahok kontra produktif dengan upaya banyak
elemen bangsa untuk merekat persatuan yang tengah retak. Seorang Ahok kini
bukan lagi sekedar membelah antara kelompok yang pro "menyolatkan
mayat" dan yang tidak, tapi menuju pada pertikaian antar etnis, suku dan
agama, dan itu adalah BAHAYA BESAR bagi keutuhan sebuah negara.
Andaipun benar Pertamina bisa lebih baik dengan masuknya
Ahok, namun tak ada artinya jika efek destruktif yang ditimbulkannya mampu
memporak porandakan seluruh tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Keputusan Presiden Jokowi menarik Ahok dari jajaran peran
pengelolaan negara dan aset-asetnya dapat menjadi Pemadam Kebakaran atas Api
Rasisme yang disulut Ahok.
Sebaliknya jika Jokowi mendiamkan prilaku Ahok, maka sikap
itu dapat ditafsir sebagai pemakluman atau bahkan restu atas
pandangan-pandangan dan pikiran-pikiran rasis Ahok.
Dinding pemecah persatuan bangsa yang didirikan Ahok
seharusnya sejak dini dirobohkan, jangan sebaliknya malah diplester. Jika
rasisme ala Ahok dibiarkan, maka KADAL GURUN dan BABI C1NA bisa saja akan
menjadi episode baru cerita Suriah versi Melayu.
Jika kobaran api konflik semakin membesar, maka untuk proses
memadamkannya akan memerlukan waktu yang amat panjang dan melelahkan, itupun
jika tidak sampai membakar habis semua apa yang pernah dibangun, sehingga hanya
puing-puing kejayaan 75 tahun merdeka saja yang tersisa.
Merecall Ahok ke Bangka Belitung bukan merupakan pilihan,
namun sudah menjadi KEHARUSAN. Semoga saja Presiden peka..!.
Salam sehat,
(Nazlira Vardha)