SWARAKYAT.COM - Rabu (02/09). Tempo kembali Bikin heboh! Sorotan terhadap buzzer dan influencer berlanjut. Kali ini, bahkan diangkat khusus sebagai cover story. Jadi headline majalah Tempo edisi 31 Agustus-6 September 2020.
Dalam investigasi terbarunya, Tempo menguliti pasukan buzzer
dan influencer yang dipekerjakan pemerintah. Tempo juga memuat pengakuan salah
satu koordinator buzzer yang bergerak menyiapkan suplai konten tulisan.
Orksetra pendengung. Demikian judul yang tertulis di sampul
Majalah Tempo. Diantara beberapa angle berita yang diangkat Tempo yaitu :
*Kakak Sepupu Jokowi, Andi Wibowo disebut memimpin salah satu tim media sosial.
**Tim media sosial itu, menyusun narasi untuk menggaungkan satu isu di jagat
maya. ***Beberapa isu titipan digaungkan untuk mendapatkan dukungan publik.
Pepih Nugraha, jadi narasumber kunci dalam liputan terbaru Tempo tersebut. Pepih banyak bercerita tentang aktivitas tim media sosial pemerintah yang dipimpin oleh Andi Wibowo. Sepupu Jokowi.
Pepih juga mengisahkan pertemuannya dengan Andi Wibowo,
hingga bagaimana ia direkrut dan bergabung dengan tim tersebut. “Pepih mengaku
mendapat bayaran menjadi anggota tim media sosial Jokowi. Sebagian digunakan
untuk membayar sejumlah penulis” tulis Majalah Tempo dalam salah satu
paragrafnya.
Di paragraf lain, Tempo melanjutkan “Pepih mengatakan
penulis yang dia himpun dan menggunakan akun anonim inilah yang berfungsi
menjadi Buzzer atau pendengung”. Pepih nugraha merupakan sosok yang sudah
familiar di kalangan penulis. Khususnya blogger. Pepih adalah jurnalis senior
Kompas yang mendirikan platform blogging Kompasiana.
Lantas, berapa bayaran menjadi buzzer atau influencer
istana? Pepih, menurut laporan Tempo tersebut, tidak menyebutkan jumlahnya.
Namun menurut hasil penelitian yang dikutip Tempo dari Oxford University,
seorang buzzer atau influencer di Indonesia bisa mendapatkan bayaran dari Rp. 1
juta hingga Rp. 50 juta rupiah. Bahkan bisa lebih.
Pengakuan selebritas Ardhito Pramono yang dibayar Rp. 10
juta untuk satu unggahan, sedikit membuka tabir besaran tarif seorang
influencer dan buzzer di Indonesia. Ardhito, sempat jadi jadi sorotan. Ketika
penyanyi muda itu mengunggah propaganda RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Belakangan, Ardhito mengklarifikasi dan mengaku unggahan itu merupakan pesanan.
“Saya merasa ditipu”, kilah Ardhito dikutip dari Tempo.
Dunia buzzer atau influencer sebetulnya bukan barang baru.
Dunia ini diperkenalkan oleh pakar strategi pemasaran, Jay Conard Levinson pada
tahun 1984. Lahir dari dunia bisnis. Tepatnya sebagai strategi gerilya
pemasaran (guirella marketing). Belakangan, strategi menggunakan buzzer dan
influencer diadopsi ke dunia politik. Maka muncullah buzzer dan influencer politik.
Mulai populer di Indonesia sejak Pilkada DKI tahun 2012 lalu.
Penting untuk memilah buzzer bisnis dan buzzer politik.
Pasalnya, stigma buzzer politik kadung kotor. Akibat perilaku aktor-aktornya
dan dalangnya. Sementara buzzer dan influencer untuk bisnis, adalah lumrah.
Lahir secara otentik tanpa misi manipulatif.
Pertanyaan berikutnya, mengapa pemerintah pakai buzzer dan
influencer? Padahal mereka punya sumber daya komunikasi yang melimpah.
Strukturnya berjenjang. Dari pusat hingga daerah. Apakah resources itu tidak
cukup? Ada lima alasan di balik pengerahan buzzer politik oleh pemerintah.
Pertama, pemeerintah tidak percaya diri atau merasa inferior
terhadap kebijakan publik yang diputuskan. Kedua, pemerintah yakin jika mereka
menerapkan kebijakan yang salah. Tidak populis. Menuai penolakan dari
masyarakat. Sehingga harus berlindung di balik tangan pihak ketiga.
Para influencer yang dianggap punya pengaruh, lalu
dikerahkan. Diplot khusus untuk mengkondisikan opini melalui bermacam-macam
propaganda. Solah-olah dukungan murni dari masyarakat. Padahal, diseminasi
informasi itu sudah dimanipulasi sedemkian rupa.
Ketiga, kuasa uang. Menganggap semua bisa dibeli. Uang kini
bukan sekadar untuk beli suara dalam pemilu seperti yang diulas pakar politik
Burhanudin Muhtadi dalam bukunya. Uang, juga sudah jadi senjata untuk
menggiring dan membentuk opini. Uang, dipakai membeli dan memborong pencitraan
di tengah ledakan informasi yang semakin buram dan tidak jelas. Uang membuat
yang otentik dan yang manipulatif semakin sulit dibedakan.
Keempat, karena produk politik yang ditawarkan memang tidak
laku. Daya saing dan mutunya rendah, dan amatiran. Bisa juga kelas odong-odong,
kaleng-kaleng dan beleng-beleng. Produk politiknya adalah sosok ide-idenya
politisi kacangan, yang menggambarkan kebijakan politik dari pemerintah.
Kelima, ini alasan yang agak rasional. Menggunakan buzzer
dan influencer lebih efektif dan efisien daripada menggunakan media maisntream.
Bandingkan dengan beriklan di TV misalnya. Video berdurasi 10 detik harus
dibayar ratusan juta hingga miliaran rupiah. tergantung frekuensi penayangan.
Itu juga belum tentu bisa mempengaruhi audiens.
Namun dengan modal di bawah 100 juta, seorang politisi atau
satu institusi pemerintah dapat memperoleh publisitas luas dan terukur dari
seorang buzzer dan influencer. Makanya saat membaca laporan ICW bahwa
pemerintah mengeluarkan Rp. 90 miliar untuk publisitas digital melalui
influencer dan buzzer, saya malah berpikir, itu kok murah banget?. Apalagi
budget Rp. 90 miliar tersebut dikeluarkan sejak tahun 2014.
Lalu kenapa kita marah? Kenapa publik antipati ketika
pemerintah pakai buzzer dan influencer? Meski cost Rp. 90 miliar itu terbilang
murah untuk sebuah program komunikasi selama enam tahun.
Kemarahan dan sinisme publik, bukan soal besaran APBN yang
dikeluarkan. Tteapi akibat dari perilaku dan ulah para buzzer tersebut.
Propaganda mereka memecah belah
masyarakat. Manipulasi informasi dan penggiringan opini yang dilakukan,
berakibat buruk bagi kepentingan bangsa.
Bayangkan, pelemahan KPK diglorifikasi sebagai penguatan
sistem presidensial. Eksploitasi pekerja oleh korporasi dan perusakan
lingkungan digiring seolah menciptakan lapangan kerja. Dasar, argumentasi
berakal pendek, picisan dan kacangan. Maka buzzer politik ini lebih mirip pasukan
perang yang mencari musuh, ketimbang menjalankan fungsi humas yang mestinya
menjadi diplomat. Komunikator di garis depan, seharusnya bersikap ramah kepada
audiens.
Saya mau memberikan saran kepada para buzzer politik itu.
Jika tujuannya untuk berkomunikasi dengan masyarakat, maka ubahlah pola
komunikasi yang diterapkan. Gunakan pendekatan public relation. Pakai formula
humanis. Berbicara sebagai humas pemerintah dengan narasi afirmatif. Esensi dan
filosofi platform digital ini, hadir sebagai saluran komunikasi untuk mengirim
informasi jernih. Informasi Tanpa distorsi. Jangan dibolak-balik.
Kecuali memang plotnya sudah dipesan pengguna jasa.
Bertujuan membangun atmosfer peperangan. Ya, itu pilihan. Yang pasti, kita
sama-sama tahu. Banyak bisnis yang bergulir jika terjadi perang. Misalnya, di
balik perang melawan terorisme di Timur Tengah, ada agenda perburuan minyak dan
bisnis logistik perang. Termasuk bisnis senjata oleh korporasi global.
Di balik konflik sektarian pengusiran Rohingnya di Myanmar,
ada aktor perusahaan minyak multinasional China (CNPC) yang berburu minyak di
Rakhine. Maka dalam perang-perangan ala buzzer dan influencer binaan
pemerintah, tentu juga ada agenda yang diemban. Ada pihak-pihak yang
diuntungkan. Setidak-tidaknya, jadi ajang panen bagi bisnis buzzer.
Maka jangan kebakaran jenggot, jika sepak terjang anda, para
buzzer disoroti. Bahkan dikuliti hingga ke jeroan. Seperti investigasi majalah
Tempo. Hal itu bagian dari upaya keterbukaan informasi publik.
Pertangunggjawaban penggunaan pajak rakyat. APBN yang dipakai membayai
aktivitas buzzer. Setiap rupiah APBN harus dipertanggunjawabkan secara
konstitusional.
Karena anda berperang dan melontarkan peluru komunikasi ke
publik pakai APBN. Maka rakyat pasti selalu monitor. Bahkan melawan lebih ganas
jika diusik Pahami itu.
*) Penulis adalah Direktur Eksekutif Tali Foundation &
Praktisi Ekonomi Digital.