SWARAKYAT.COM - Sebuah penelitian baru-baru ini mengungkap fakta baru seputar peristiwa berdarah Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 silam.
Taomo Zhou, seorang sejarawan dari Nanyang Technology
University, Singapura, mengungkapkan hasil penelitian mengenai peran China
dalam peristiwa G30S.
Baru-baru ini, Taomo Zhou meluncurkan bukunya berjudul
Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik Tionghoa,
1945—1967 di Jakarta.
Peluncuran dan bedah buku Taomo Zhou dilakukan oleh Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), akhir Juli 2019 lalu.
Dikutip dari historia.id, dalam artikel bertajuk Apakah
Rezim Mao Terlibat G30S?, peran China saat itu mulai terkuak.
Berikut artikel lengkap Apakah Rezim Mao Terlibat G30S? yang
ditulis Martin Sitompul di historia.id:
Apakah Rezim Mao Terlibat G30S
SEBELUM peristiwa G30S meletus, Ketua CC PKI, DN Aidit
berkunjung ke Beijing.
Di sana, Aidit bertemu ketua Partai Komunis Tiongkok (PKT),
Mao Zedong.
Mereka membicarakan situasi politik yang sedang terjadi di
Indonesia; suksesi kekuasaan bilamana Presiden Soekarno wafat atau
dilengserkan.
Tidak lama berselang, terjadilah peristiwa 1 Oktober 1965.
Soekarno kemudian tumbang.
Jenderal Soeharto naik tampuk kekuasaan mendirikan rezim
Orde Baru.
Selain PKI, penguasa Orde Baru mencurigai keterlibatan
pemerintah Tiongkok dalam G30S.
Pada 1967, hubungan diplomatik antara Indonesia dan Tiongkok
diputuskan.
Apakah benar penguasa Beijing berada di balik G30S?
“Percakapan antara Mao dengan Aidit barangkali merupakan
bukti terkuat,” ujar Taomo Zhou, sejarawan Nanyang University dalam peluncuran
dan bedah bukunya Revolusi, Diplomasi, Diaspora: Indonesia Tiongkok, dan Etnik
Tionghoa, 1945—1967 yang diselenggarakan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), 29 Juli 2019.
Keterlibatan rezim Mao dalam G30S selalu jadi perdebatan.
Menurut Taomo, teka-teki itu dapat terjawab bila merujuk
percakapan antara Aidit dan Mao.
Transkrip percakapan keduanya tertanggal 5 Agustus 1965
tersebut tersimpan dalam arsip Kementerian Luar Negeri Tiongkok.
Lebih dari setengah abad mengendap, arsip tersebut
dideklasifikasi secara bertahap pada 2007.
Sebanyak 250 bundel arsip setebal 2000 halaman dibuka hanya
terbatas kepada peneliti dan sejarawan.
Namun sayangnya, pemerintah Tiongkok mereklasifikasi
(menutup akses) arsip berharga itu pada 2013 tanpa alasan yang jelas.
Taomo menjadi salah satu sejarawan yang beruntung bisa
meneliti arsip-arsip itu untuk keperluan disertasi doktoralnya di Universitas
Cornell.
Disertasi Taomo yang berjudul “Diaspora and Diplomacy:
China, Indonesia and The Cold War, 1945-1967” rampung pada 2015.
“Secara fundamental kita dapat katakan bahwa Aidit adalah
aktor yang dengan sadar merancang gerakan sedangkan pengaruh Beijing pada
dasarnya sangatlah terbatas,” kata Taomo.
Menurut Taomo keterlibatan rezim Mao pada prahara paling
berdarah dalam sejarah Indonesia tidak signifikan.
Ketika bertemu dengan Mao, Aiditlah yang menerangkan rencana
gerakan merebut kekuasaan.
Mao sendiri terkejut saat mendengar gerakan tersebut
akhirnya dilancarkan.
Berdasarkan bukti itu, Taomo dalam penelitiannya
menggugurkan mitos yang tersebar luas di mana Mao digambarkan sebagai “arsitek
G30S”.
Kendati demikian, dampaknya cukup berimbas besar terhadap
masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Propaganda pemerintah Soeharto yang mengidentifikasi etnik
Tionghoa dengan komunisme telah membuat komunitas minoritas itu rawan terhadap
kekerasan dan pengusiran selama berlangsungnya pembunuhan massal pada
1965-1966.
Akibatnya, lebih dari 160 ribu orang Tionghoa terpaksa
meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri leluhurnya.
Dan selama tiga dasawarsa berkuasa, rezim Orde Baru
menerbitkan sejumlah peraturan yang diskriminatif terhadap orang Tionghoa.
Misalnya, orang Tionghoa peranakan harus mendapat surat
kewarganegaraan dengan tanda khusus, sedangkan pendidikan berbasis bahasa
Tionghoa dilarang sama sekali.
“Tuduhan Orde Baru bahwa Tiongkok itu terlibat di dalam G30S
tentunya menjadi sangat lemah,” ujar sejarawan LIPI Asvi Warman Adam yang
menjadi pembedah buku.
Pendapat Asvi ini bersandar pada informasi yang disampaikan
Aidit kepada Mao dua bulan sebelum G30S.
Dan juga mengenai pasokan senjata yang dipersiapkan untuk
Angkatan Kelima tidak kunjung sampai ke Indonesia.
“Kalau Aidit hanya sekadar menyatakan akan melakukan suatu
tindakan atau gerakan tentunya informasi itu adalah sangat umum. Coba kita
bandingkan dengan apa yang disampaikan Kolonel Latief kepada Soeharto selang
beberapa jam sebelum peristiwa itu terjadi,” kata Asvi.
Kendati demikian menurut Asvi, penelitian Taomo berhasil
membuat rekonstruksi sejarah yang mengungkapkan beberapa hal yang baru mengenai
dinamika hubungan Indonesia-Tiongkok.
Sementara itu menurut pakar politik internasional, Dewi
Fortuna Anwar, meski tidak terlibat langsung mengorkestrasi G30S, bukan berarti
Mao tidak mendukung upaya PKI untuk suatu saat merebut kekuasaan.
Apakah itu melalui jalan partai ataupun melalui jalan
revolusioner.
Bahwa ada fakta senjata untuk Angkatan Kelima belum dikirim,
tentunya itu bukan berarti senjata-senjata itu tidak dipesan.
“Secara teknis, Beijing memang tidak terlibat langsung
(G30S), tapi bahwa Beijing sepenuhnya berada di belakang seandainya PKI menjalankan
perebutan kekuasaan itu juga tidak bisa dipungkiri,” ujar Dewi.
Tidak hanya mengenai G30S, Taomo juga menyoroti berbagai
aspek dari hubungan Indonesia-Tiongkok dalam kurun waktu 1945-67.
Mulai dari keterlibatan barisan pengawal “Pao An Tui” di masa
revolusi, persaingan Beijing dan Taipei (Kuomintang) merebut pengaruh di
Indonesia, pengusiran warga Tionghoa di era Sukarno lewat PP 10/1959, hingga
pembekuan hubungan diplomatik pada masa awal kekuasaan Orde Baru.
“Buku ini sangat kaya dan betul-betul menambah wawasan
kita,” pungkas Dewi.(*)