SWARAKYAT.COM - Fahri Hamzah dulunya adalah kader PKS. Dia juga sempat berseteru dengan PKS. Selama fase itu, Fahri berseberangan dengan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Kini, setelah menjadi kader Partai Gelora, Fahri mesra dengan Jokowi.
Perubahan itu kemudian menjadi makanan empuk bagi para
netizen. Perubahan paling mencolok yang diumbar netizen adalah pandangan Fahri
tentang politik dinasti. Netizen kemudian membandingkan omongan Fahri yang dulu
dengan Fahri yang saat ini.
Pada Oktober 2019, Fahri membuat cuitan di twitter.
"Anak dan keluarga presiden jokowi masih muda..sebaiknya jangan masuk
politik ketika belum matang dan ketika situasi bisa menyeret publik menilai
bahwa presiden ingin membangun dinasti kekuasaan..santai ajalah..berilah tenaga
pada reputasi presiden itu lebih penting sekarang.." begitu tulis Fahri.
Pada 18 September 2020, Fahri membuat cuitan merespons Said Didu. "Bang@said_didu, Pertama itu teknis di lapangan, tidak terkait kerajaan atau dinasti. Kedua, dinasti itu pewarisan kekuasaan melalui darah. Sementara ini kan pemilu. Ada kemungkinan menang dan kalah. Santai aja, jangan tegang menghadapi pilkada. Ini demokrasi lokal yang biasa," begitu tulis Fahri.
Dua pandangan yang berbeda itu kemudian jadi makanan empuk
bagi netizen. Seranhan dan penghakiman netizen menggejala. Ditambah lagi Partai
Gelora mendukung Bobby dan Gibran di pilkada. Bobby adalah menantu Presiden
Jokowi. Gibran adalah anak Presiden Jokowi.
Geliat Fahri di dunia maya langsung melejit. Netizen memang
menyoroti perubahan pandangan politik Fahri. Ada juga yang mengaitkannya dengan
pemberian bintang tanda jasa. Fahri dinilai melunak setelah mendapatkan bintang
jasa.
Lalu?
Ini adalah dinamika politik. Orang berubah haluan politik
atau partai politik itu hal yang biasa. Banyak juga yang berubah haluan soal
politik atau partai politik. Bukan hanya Fahri. Ahok dulu anggota PIB, pindah
ke Golkar, pindah ke Gerindra, pindah ke PDIP. Kini jadi Komisaris Utama
Pertamina.
Amien Rais pindah dari PAN ke partai baru yang belum
dideklarasikan. Tedjo Edhy Purdijanto pindah dari NasDem ke Partai Berkarya.
Masih banyak lagi yang melakukan perubahan halian politik. Bagi saya biasa
saja.
Apalagi politik secara sederhana adalah "siapa
mendapatkan apa dengan cara bagaimana". Artinya, jika di satu parpol atau
haluan politik seseorang tak mendapatkan apa yang dia buru, tentu pindah haluan
tak masalah.
Yang jadi ruwet adalah ketika para pendukung sosok politisi
atau partai politik karena haluan tertentu yang sangat fanatik. Itu yang
menyedihkan.
Kalau terlalu fanatik nanti tak bisa menerima perubahan
dinamika politik. Sebab, politik memungkinkan kemarin lawan dan sekarang kawan.
Yang fanatik, lalu mau apa kalau sosok atau parpol yang dia dukung karena
haluan politik berubah haluan? Malah bisa pusing sendiri.
Sekali lagi, fenomena Fahri biasa saja dalam politik. Orang
yang menyerang Fahri pun bisa jadi juga pernah pindah haluan politik. Jadi ya
biasa saja. Jangan dibawa sampai stress. (*)
Kulihat, sudah cocok kalinya Bang Fahri jadi Ngabalin.
— TukangKredit (@TukangKredit10) September 18, 2020
Lanjutkan Bang Fahri menuru Arah Baru bersama Fahri Baru pic.twitter.com/Pil5CX9JmO