SWARAKYAT.COM - MEMPRIHATINKAN. Pernyataan itu jelas mengagetkan. Terlebih angka yang disebut terbilang mutlak, 92 persen keterpilihan mayoritas calon kepala daerah melibatkan peran cukong.
Penyampai pesan tersebut bukan sembarang orang, melainkan Menko Polhukam Mahfud MD. Pasti bukan sekadar main-main, tentu ada dasar argumentasi yang sahih.
Sejatinya, proses kontestasi politik telah jamak diketahui
sebagai ruang transaksi. Proses tukar tambah dan barter terjadi, untuk dan atas
nama kekuasaan.
Tidak ada yang bisa memastikan seberapa dominan itu terjadi,
karena praktiknya berlangsung di ruang gelap bursa politik.
Maka pernyataan tentang angka yang hampir mutlak itu jelas
sangat mengkhawatirkan bagi masa depan demokrasi.
Sebagai sebuah istilah, cukong bertindak sebagai penyedia
modal yang mempersiapkan dana. Berlaku sebagai bandar, yang memiliki tugas
mengatur aliran, dalam saluran pertukaran kepentingan.
Sudah sejak lama aktivitas seperti ini terjadi, simbiosis
mutualisme terjadi antara para aktor di wilayah ekonomi dan ruang politik.
Perilaku ini dikenal sebagai upaya perburuan rente, menciptakan relasi balas
budi.
Logika transaksinya mudah ditebak. Pelaku politik
membutuhkan sumber daya finansial yang cukup dalam kapasitas membeli suara
-vote buying guna memenangkan kontestasi.
Bagi para cukong, situasi tersebut menjadi peluang untuk
membawa kepentingan bisnis ke dalam regulasi, layaknya sebuah instrumen
investasi. Terjadi pertemuan kepentingan.
Selera dan Pilihan Cukong
Dalam sebuah diskusi daring LP3ES, Didik J Rachbini menyebut
ada dua diksi terpisah antara “Public Choice dengan Pilihan Cukong”. Hal itu
menarik, karena pasar politik beririsan dengan pasar ekonomi, lantas terjadi
kesetimbangan supply-demand.
Interaksi lapangan politik dengan pertautan kepentingan
ekonomi para bandar, membuat pertukaran berlangsung timpang bagi upaya memuat
kepentingan publik secara lebih luas.
Kompleksitas relasi yang terjadi, sarat dengan kepentingan
pada tema memperoleh serta mempertahankan kekuasaan. Dengan begitu, isu sentral
demokrasi terkait aspek kesetaraan, keadilan dan kemanusiaan menjadi marjinal.
Dalam bahasa yang lain, Ward Berenschot dari University of
Amsterdam, yang bersama dengan Edward Aspinall merilis hasil penelitian terkait
politik uang di Indonesia dalam buku Democracy for Sale, 2019, menyampaikan
perlunya reformasi dalam proses politik elektoral.
Temuan dari kajian Berenschot, memperlihatkan bila ongkos
politik di Indonesia terbilang besar. Mulai sejak proses kandidasi, proses
pencalonan melalui partai politik akan terkait dengan mahar politik, mudah
dibaca bila kemudian ukuran kualitas dan kompetensi kemudian terpinggirkan
untuk diberikan kepada penawar tertinggi.
Tidak berhenti disitu, bahkan dimulai dari titik penentuan
kandidat, sumber daya finansial semakin massif dipergunakan.
Hal ini terhitung secara akumulatif, seperti kebutuhan dana
kampanye, persiapan bagi tim pemenangan, biaya saksi hingga mengawal suara
hingga putusan final.
Bahkan bukan tidak mungkin, termasuk mempersiapkan dana
tambahan untuk bisa menang melalui sengketa pemilihan.
Dengan alur kerja yang sedemikian, maka peran cukong menjadi
begitu signifikan.
Pada akhirnya, para aktor politik yang terpilih, tidak bisa
melepaskan diri dari pilihan pengambilan kebijakan yang akan memberikan
keuntungan dalam regulasi bagi kepentingan cukong.
Bahkan memberikan barter imbalan proyek, secara langsung
dari rencana pembangunan daerah.
Demokrasi tanpa Publik
Sekurangnya, ada hal penting yang dapat dibaca dari argumen
sederhana atas keterlibatan para cukong dalam sistem elektoral, yakni ruang
politik kehilangan ruh demokrasi tentang hajat publik, menjadi wilayah pertarungan
jangka pendek segelintir elite. Oligarki berkuasa.
Ranah politik yang lekat dengan pola transaksional ini,
membuat pengambil.kebijakan menjadi berbagai persoalan publik.
Rasionalitas investasi lebih mengemuka, kalkulasi untung
rugi, dan yang terutama dalam menjamin keuntungan serta posisi strategis
kelompok kekuasaan.
Tata kelola kehidupan demokrasi harus segera diperbaiki,
bila kita masih berharap akan masa depan. Setidaknya ada tiga hal yang saling
terkait dan perlu pembenahan secara bersamaan.
Pertama: penguatan regulasi, sebagai akibat dari lemahnya
mekanisme aturan dalam upaya mengeliminir potensi politik berbiaya tinggi.
Termasuk melakukan penegakan hukum, bagi pihak yang
melanggar ketentuan terkait politik uang pada setiap level proses elektoral.
Kedua: pengembalian peran partai politik dalam makna
agregasi dan kanalisasi kepentingan publik.
Kehendak untuk terlibat dalam politik kepartaian merupakan
upaya dalam menciptakan wadah aktualisasi bagi dampak kebermanfaatan,
dibandingkan memanfaatkan ruang politik guna mencari pemenuhan kebutuhan dasar.
Etika dan moralitas menjadi pemandunya.
Ketiga: edukasi dan literasi politik publik, tentang upaya
membangun kesadaran untuk tidak masuk dalam ruang perangkap dari para aktor
politik yang lancung memainkan praktik politik uang, karena pada akhirnya harus
diakui ada relasi dialektik antara praktik politik dan budaya sosial.
Di titik ini kita berbicara tentang persinggungan kebudayaan
dan peradaban.
Momentum pernyataan petinggi negeri tersebut, harus melecut
evaluasi bagi banyak pihak, kita sedang berpikir dan bertindak untuk generasi
masa depan dan kehidupan mendatang.
Statement itu akan menjadi hampa, tanpa adanya koreksi
bersama.
Penulis adalah Program Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas
Sahid
Oleh: Yudhi Hertanto