SWARAKYAT.COM - Lagi-lagi kontroversi! Kementerian Agama di bawah Menteri Fachrul Razi seakan tak berhenti dari kontroversi yang terus menyeret umat Islam. Kita tentu belum lupa dengan pernyataan pembuka Fachrul soal cadar, cingkrang dan radikalisme.
Seakan belum cukup, belum lama Menteri yang terhormat ini
melontarkan kembali soal radikalisme yang kali ini beliau sandingkan dengan
penghafal Qur’an (hafiz) yang good looking.
Radikalisme memang menjadi kosa kata yang sering terucap
dari Fachrul Razi. Cadar, cingkrang, hafiz dirangkai bersama radikalisme. Tentu
bermain wacana saja tidak cukup. Oleh sebab itu Kementerian Agama tengah
bersiap melakukan program sertifikasi dari.
Tak pelak soal sertifikasi ini mengingatkan kita akan
politik pengawasan yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijakan
pengawasan dikenal dengan ‘Ordonansi
guru.’ Sebuah kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1905 yang mewajibkan setiap
guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum
melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. (Aqib Suminto: 1996)
Mengawasi Guru Agama ala Pemerintah Kolonial
‘Ordonansi guru’ tak bisa dilepaskan dari peristiwa
pemberontakan Petani di Banten pada tahun 1888. Sejak saat itu Pendidikan agama
Islam disorot oleh pemerintah kolonial. Penasihat pemerintah kolonial di
Priangan, K.F. Holle menyarankan pada tahun 1890 agar pendidikan agama Islam
diawasi. Holle juga meminta agar setiap tahun para bupati melaporkan daftar
guru agama di setiap daerahnya.
Instrumen kebijakan seperti ini semakin tajam ketika pada
tahun 1904, Snouck Hurgronje menyarankan agar pengawasan tersebut meliputi
adanya izin khusus dari bupati. Maka setahun kemudian, lahirlah ‘Ordonansi
guru’ yang berlaku di Jawa dan Madura kecuali Yogyakarta dan Solo.
Secara teknis tentu saja peraturan ini membuat guru-guru agama kesulitan. Sebab mereka tidak memiliki administrasi yang memadai dalam mengelola pengajiannya. Banyak pula di antara mereka yang tidak mampu membaca huruf latin dan sedikit sekali yang memiliki mesin tulis untuk mengisi lembar daftar laporan.
Secara tersirat ‘Ordonansi guru’ tak lain adalah sebuah
instrumen untuk menekan agama Islam karena dikaitkan dengan ketertiban dan
keamanan (Aqib Suminto: 1996). Guru-guru agama yang memohon izin kemudian
diawasi oleh para pejabat dan diperiksa apakah guru tersebut bertindak sesuai
dengan izin yang diberikan. Bahkan para murid yang berasal dari luar daerah
dari guru ini pun diawasi.
‘Ordonansi guru’ ini pun akhirnya dievaluasi oleh pemerintah
kolonial. Mereka menganggap ordonansi ini tidak efisien karena laporan berkala
yang diberikan oleh para bupati dianggap kurang meyakinkan. Di samping itu,
kala itu situasi politik dinilai sudah tidak memerlukan lagi kebijakan
‘memburu’ guru agama.
Sebagai gantinya, pemerintah kolonial mengeluarkan
‘Ordonansi guru’ yang baru dan dikeluarkan pada tahun 1925. Ordonansi ini hanya
mewajibkan guru agama untuk memberitahu (bukan meminta izin). Secara cakupan,
peraturan ini diperluas hingga ke Aceh, Sumatera Timur, Riau, Palembang,
Tapanuli, Lombok dan Manado, kemudian menyusul Bengkulu.
Pada prakteknya ordonansi ini tetap menjadi alat yang
menghambat dakwah umat Islam pada saat itu. Haji Fachrodin dari Muhammadiyah
(yang juga menjadi aktivis Sarekat Islam) mengeluhkan ordonansi ini sebagai
rintangan yang menghalangi kemajuan dan penyebaran Islam di Indonesia.
Muhammadiyah dalam kongres ke XVII pada tahun 1928 dengan keras menuntut agar
Ordonansi guru ini dicabut.
Sarekat Islam juga menolak pengawasan terhadap guru agama
seperti ini. Kongres Al-Islam tahun 1926 di Bogor menyerukan penolakan terhadap
cara-cara pengawasan ordonansi ini. Kewajiban memberi tahu kurikulum, guru dan
murid secara berkala dinilai oleh Sarekat Islam sebagai memberatkan.
Tetapi di Sumatera Baratlah reaksi amat keras timbul menolak
ordonansi ini. Dalam sebuah rapat akbar di Bukittinggi pada 19 Agustus 1928,
sekitar 800 ulama hadir mewakili 115 organisasi. Sumatera Barat memang menjadi
sasaran empuk kebijakan pengawasan semacam ini. Pada tahun 1927 telah terjadi
pemberontakan komunis di Silungkang. Uniknya
di Minangkabau, aturan yang diterapkan lebih mirip ordonansi guru 1905
ketimbang yang berlaku pada tahun 1925. Sebab diperlukan izin bagi guru agama
untuk berdakwah.
Para ulama yang hadir dalam pertemuan akbar tersebut sangat
khawatir kemerdekaan agama mereka akan terganggu. Salah seorang peserta rapat
akbar tersebut, S. Sutan Mangkuto, mengutip hadist yang memerintahkan agar
seorang Muslim berani menghadapi pemerintah melawan peraturan semacam itu.
Namun tak ada pidato yang lebih mengguncang jiwa ketimbang
pidato yang diuraikan oleh Haji Rasul, ayah dari Buya Hamka. Di momentum
tersebut Haji Rasul menyatakan,
“Dari mulai mendengar ini auran akan dijalankan di negeri
kita ini seperti yang telah dijalankan di tanah Jawa dan Madura, sungguh
gemetar seluruh tubuhku. Selalu pikiranku berasa kacau, tak dapat apa yang akan
aku katakan, apa yang mau diperbuat
berhubung dengan itu. Maka sekarang wahai kaumku Muslimin!! Berpegang
teguhlah pada tali Allah dan janganlah berpecah-pecah juga!! Di zaman yang
beginilah kelihatannya bahaya perpecahan itu. Perkataan yang aku keluarkan ini
ialah perkataan yang keluar dari hati yang ikhlas dan suci, mengajak kamu
sekalian sama memperhatikan bahaya apa yang menantang Islam di masa ini.”
Rapat akbar tersebut akhirnya menelurkan mosi yang
berpendapat bahwa ‘Ordonansi guru’ merupkan penghambat bagi umat Islam
melaksanakan kewajiban mereka. Mosi tersebut juga menyebutkan bahwa peraturan
tahun 1925 melanggar kemerdekaan Islam, dan menambahkan bahwa bila diberlakukan
maka ketertiban dan ketentraman tidak akan terpelihara lagi.
Hasil dari mosi tersebut kemudian menuai hasil. Pemerintah
kolonial Belanda memutuskan menarik aturan tersebut dari wilayah Minangkabau.
Keberhasilan mosi ini tak lepas dari ajakan untuk Bersatu. Ajakan Haji Rasul
untuk bersatu tampaknya berhasil menggungah para ulama Minangkabau yang selama
ini bertikai dua kubu antara ulama Kaum Mudo (modernis) dan Kaum
Tuo(tradisionalis).
Kebijakan melihat kembali ‘Ordonansi guru’ membantu kita
untuk memahami kebijakan yang sama saat ini dengan label sertifikasi. Di balik
label sertifikasi kita tak dapat memungkiri aroma islamophobia yang melekat
pada kebijakan ini.
Pintu Masuk Islamophobia?
Chris Allen dalam bukunya, Islamophobia (2010) menyebutkan bahwa peran sejarah dan peristiwa kunci tertentu membantu kita memahami hubungan antara sejarah dan islamophobia kontemporer. Seiring bertumbuhnya penaklukan bangsa barat yang ditopang kolaborasi dengan dunia akademik, pemahaman baru tentang Islam dan dunia Muslim muncul, bukan sekedar dilihat sebagai sesuatu yang ilmiah tetapi juga sebagai penyokong kekuasaan imperial.
Islam dilihat bukan sebagai sesuatu yang harus dihapuskan,
tetapi kekuatan relijius yang harus digantikan dengan model eropa dari
nasionalisme sekular. Tujuan dari kolonialis adalah ‘mereformasi Islam’, yang
berarti membuatnya menjadi sekular. Ini pula yang menjadi tujuan dari
orientalis semacam Snouck Hurgronje yang menganggap aspirasi politik Islam
sebagai sesuatu yang berbahaya seraya menganggap hukum-hukum Islam sebagai
peninggalan abad pertengahan yang ketinggalan jaman.
Pertanyaannya adalah apakah penentangan akan dimensi politik
Islam dapat dikategorikan sebagai islamophobia? Apalagi jika hal ini terjadi di
negeri yang mayoritas muslim seperti Indonesia? Mungkinkah islamophobia terjadi
di negeri mayoritas muslim?
Disinilah kita bisa melihat bagaimana paradigma barat yang
sekular menjangkiti negeri mayoritas muslim dan melihat identitas politik
muslim sebagai ancaman bagi negara bangsa-sekular ala barat. Atau mengutip
Salman Sayyid, islamophobia adalah mengenai membuat identitas politik Muslim
mustahil untuk hadir.
Tetapi bagaimana mungkin seorang Muslim dalam negeri
mayoritas muslim dapat mengamini Islamophobia seperti ini? Hal ini tentu saja
tak dapat dilepaskan dari akar kolonialisme yang menghampiri negeri-negeri
mayoritas muslim di berbagai belahan dunia.
Paradigma sekular barat menurut Bayrakli, Hafez & Paytre
dalam Making Sense of Islamophobia in Muslim
Society telah menghegemoni produksi pengetahuan sehingga perspektif
non-muslim dalam melihat Islam telah menjadi titik awal bagi banyak pemikir
muslim dan pembuat kebijakan. Hal ini berakar dari peran kolonisasi yang
menghancurkan struktur normatif Islam dan beralih kepada model negara-bangsa
ala Eropa melalui penerapan administrasi
modern, militer dan pendidikan lewat pemaksaan.
Tentu saja tidak semua negeri mayoritas muslim mengalami hal
ini. Ada pula negeri seperti Turki, dan Iran yang mengalami westernisasi yang
dijembatani oleh elit muslim yang tersekularkan seiring bangkitnya negara
bangsa model Eropa. Model negara-bangsa ala Eropa ini ditiru baik secara
praktis (misalnya penerapan institusi
modern, birokrasi atau sekolah) dan juga sebagai ideologi (modernisasi sebagai
jalur peradaban dan pandangan hidup).
Elit Muslim yang tersekularkan inilah yang kemudian menjadi
elit penguasa yang menentukan haluan negeri mereka. Meskipun proses
westernisasi ini berbeda-beda di tiap negeri sejak akhir abad ke-18 hingga saat
ini, namun hampir semua elit sekular ini terikat dengan penimbangan ulang yang
radikal mengenai tradisi/pandangan hidup/cara hidup Islam dan konsekuensinya
mereka menganggap hal ini sebagai rintangan untuk penerapan negara modern.
Perjalanan panjang paradigma ala barat yang terus diwariskan
dari satu generasi ke generasi berikutnya ini terus hidup hingga kini. Maka
bukan hal mengherankan jika, seorang muslim di negeri mayoritas Muslim mengidap
islamophobia yang mewarisi paradigma ala kolonialis. Di Indonesia, cara pandang
sekularistik yang melihat Islam hanya sebagai aspek ritual dan menolak (atau
lebih tepatnya menyerang) aspirasi politik Islam adalah warisan penting dari
Snouck Hurgronje.
Maka narasi seputar 200 ulama rekomendasi, monsterisasi
cadar, celana cingkrang hingga wacana standarisasi dai adalah narasi yang harus
dilihat secara berkesinambungan, dan berujung pada persoalan paradigma ini.
Islamophobia yang mungkin tanpa disadari menjangkiti sebagian anak bangsa.
Oleh: Beggy Rizkiansyah, Pegiat Jejak Islam dan penulis sejarah Islam