SWARAKYAT.COM - Deklarasi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) di Surabaya, Jawa Timur pada Senin (28/9) mendapat ganguan.
Acara yang dihadiri Presidium KAMI Gatot Nurmantyo ini
mendapat penolakan sekelompok orang yang menamakan sebagai Koalisi Indonesia
Tetap Aman (KITA).
Ujungnya, acara deklarasi dibubarkan oleh pihak kepolisia,
Direktur Indonesia Future Studies (Infus), Gde Siriana Yusuf menilai penolakan
dan pembubaran tersebut merupakan tanda bahwa KAMI memang benar-benar membuat
penguasa atau rezim Jokowi saat ini takut dan panik.
“Deklarasi KAMI di Surabaya dibubarkan oleh KITA pertanda
KAMI membuat penguasa makin takut dan panik,” ujar deklarator KAMI itu di akun
Twitter, @SirianaGde, Senin (28/9).
Menurut Gde Siriana, penolakan KAMI tersebut juga semakin membuat nama Gatot Nurmantyo dan KAMI semakin melambung.
Gde pun meminta kepada pihak kepolisian untuk berpihak
netral untuk mengamankan deklarasi KAMI di dalam gedung dan mengamankan aksi
yang menentang KAMI di luar gedung.
“Sangat tidak rasional jika deklarasi KAMI dianggap
inkonstitusional. Apakah Covid-19 memakan sebagian otak mereka hingga tidak
bisa berfikir jernih tentang KAMI? Atau ketakutan bahwa KAMI akan jadi
gelombang besar kesadaran nasional untuk selamatkan Indonesia?” jelas anggota
Komite Politik dan Pemerintahan KAMI itu.
Gde Siriana curiga adanya kekuatan besar yang membuat mantan
panglima TNI bisa terusir hanya dengan sedikit massa aksi dari KITA.
“Dengan massa se-upil KITA bisa mengusir Gatot Nurmantyo
dari dalam gedung deklarasi. Jelas ada kekuatan besar yang membackup operasi
mengamputasi KAMI. Dalam sejarah RI, tidak ada mantan pangab yang dianggap
musuh penguasa. Ini pertanda KAMI dianggap berbahaya bagi keberlangsungan
rezim,” kata Gde.
Gde juga merasa aneh karena banyak hal nyata yang tidak
sinkron dari pembubaran deklarasi KAMI di Surabaya. Karena bukan hanya
beralasan tidak ada izin dan melanggar protokol Covid-19, namun juga terdapat
narasi penolakan keberadaan KAMI di Surabaya.
“Tapi ujungnya kok ada statement menolak keberadaan KAMI di
Surabaya. Selain itu dalam acara pesertanya terbatas dan semua bermasker.
Bandingkan dengan keramaian Pilkada Surabaya,” pungkas Gde.