SWARAKYAT.COM - Pengamat komunikasi politik Ari Junaedi mengomentari kontestasi Pilkada Solo 2020.
Ari menilai, munculnya lawan tanding Gibran Rakabuming Raka-Teguh Prakosa merupakan fenomena yang unik.
Pasalnya, lawan tanding Gibran yang seorang putra Presiden
Joko Widodo dan Teguh yang merupakan anggota DPRD Solo, adalah pasangan
independen.
Mereka ialah Bagyo Wahyono yang berprofesi sebagai penjahit
dan FX Suparjo yang hanya menjabat Ketua RW.
“Saya kira ini merupakan fenomena yang unik, selain mungkin
dianggap menyelamatkan roh kompetisi berdemokrasi dengan hadirnya calon
independen,” ujar Ari di Jakarta, Selasa (8/9).
Dosen di Universitas Indonesia ini menyebut unik, karena
tidak semua calon independen bisa dan sanggup mengumpulkan dukungan warga
sejumlah syarat minimal yang dipersyaratkan KPU.
Untuk daerah yang memiliki daftar pemilih tetap lebih dari 1
juta jiwa, harus meraup dukungan 6,5 persen di lebih dari 50 persen total
kecamatan.
“Duet penjahit dan ketua RW ini malah punya tim
gorong-gorong Tikus Pithi Hanata Baris, yang rapi keorganisasiannya. Bayangkan,
ada mantan kapolda yang gagal maju lewat jalur independen, ini di Solo malah
bisa muncul yang seperti ini,” ucapnya.
Balon Wali Kota dan wakil Wali Kota Surakarta Bagyo
Wahyono-FX Supardjo (Bajo). Foto: ANTARA/Bambang Dwi Marwoto
Penulis buku ‘Tapal Batas Indonesia’ ini menilai, kehadiran
calon independen di Solo juga bisa dimaknai sebagai bentuk perlawanan terhadap
hegemoni partai politik.
Ketika akses partai politik dinilai sangat rumit serta tidak
ada aturan baku rekrutmen, maka calon kepala daerah mencari alternatif lain.
“Pasangan Bajo bisa jadi menjadi katarsis kekecewaan
masyarakat karena begitu dominannya kekuatan calon yang didukung hampir semua
partai politik,” katanya.
Menurut pembimbing program doktoral di pascasarjana
Universitas Padjajaran ini, masyarakat terkesan ingin menunjukkan gugatan,
bahwa mereka bisa menghadirkan calon kepala daerah menurut versi mereka
sendiri.
“Soal kalah menang adalah soal lain, jika membela kotak
kosong adalah bentuk perlawanan yang tidak beradab, mungkin saja membela paslon
dari jalur perseorangan adalah wujud perlawanan terhadap kemapanan,” katanya.
Ari kemudian menyimpulkan, kondisi yang terjadi di Solo
menjadi tantangan besar bagi partai politik untuk literasi politik kepada
rakyat.