SWARAKYAT.COM - Praktisi dan Pengamat Hukum, Syahrir Irwan Yusuf menyoroti perbedaan perlakuan antara tersangka Kingkin Anida dengan Denny Siregar. Meski sama-sama diperkarakan akibat postingannya di media sosial tapi proses hukum kedua keduanya jauh berbeda. Maka Syahrir menyebut integritas aparat penegak hukum tengah diuji.
"Melihat dua kasus, aparat penegak hukum sedang diuji
integritasnya dalam penegakan hukum. Semoga asas equality before the law
berlaku untuk semua warga negara dan tidak tebang pilih," tegas Syahrir
saat dihubungi melalui sambungan telepon, Ahad (18/10/2020), dilansir
Republika.
Kingkin seorang guru ngaji, hanya menyalin tentang 13 poin
Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja yang viral di media sosial ke dalam
postingan facebook. Kemudian pada tanggal 9 Oktober 2020 baru mengetahui bahwa
13 poin UU Cipta Kerja tersebut hoaks. Lantas Kingkin Anida langsung menghapus
status tersebut ditanggal yang sama. Namun pada tanggal yang sama juga pada 9
Oktober 2020, terbit Laporan Polisi.
Kemudian pada tanggal 11 Oktober 2020, ustadzah itu
ditetapkan sebagai tersangka dan langsung dilakukan penahanan. Pada tanggal 15
Oktober 2020 Polri merilis pengungkapan tersangka diduga melakukan penghasutan
terkait demontrasi penolakan Undang-undang Omnibus Law Ciptakerja. Termasuk di
dalamnya Kingkin Anida, dengan tangan diborgol, mengenakan rompi orange khas
tahanan, dan dipamerkan ke awak media.
Sedangkan kasus hakum Denny Siregar terbilang sangat lamban.
Sejak dilaporkan pada 27 Juni 2020 silam, belum sekalipun Denny Siregar dipanggil
pihak Kepolisian. Pegiat media sosial itu dilaporkan atas dugaan tindak pidana
penghinaan, pencemaran nama baik, dan perbuatan tidak menyenangkan penggunaan
foto tanpa izin.
"Padahal seharusnya tidak demikian, dalam kasus DS
(Denny Siregar) yang telah didukung bukti-bukti pendukung yang kuat APH (aparat
penegak hukum) sudah dapat menetapkan sebagai tersangka. Sementara Kingkin
Anida langsung ditetapkan sebagai tersangka," kata Syahrir.
Selain itu, menurut Syahrir, Undang-undang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE) dapat menjerat siapa saja yang dianggap telah
menyebarkan berita bohong atau pencemaran nama baik. Memang, sambungnya,
undang-undang ini jangkauannya sangat luas dan sepertinya memberikan kewenangan
yang luas kepada aparat penegak hukum.
"Oleh karenanya terkadang APH (aparat penegak hukum)
dapat berlaku subyektivitas terhadap kasus yang sama, ini disebabkan kewenangan
yang melekat padanya," ucap Syahrir.