SWARAKYAT.COM - Dihujani opini negatif, KAMI malah berlimpah simpati. Inilah dua hal yang membuat KAMI disambut dan sekaligus membuat penguasa gusar. Akankah Penguasa bertindak elegan? We are at the point of no return.
Menyusul deklarasi KAMI Surabaya dan dukungan Purnawiran TNI
–pada acara Tabur Bunga di Makam Pahlawan Kalibata yang dipersekusi, Muldoko (1
Oktober 2020) mengeluarkan pernyataan bernada ancaman. Kepala Staf Presiden
–yang menjelang Pilpres 2019 lalu menyerukan perang total melawan pasangan
Capres/Cawapres 02, itu memperingatkan KAMI untuk menyampaikan aspirasinya
lewat jalur hukum. Entahlah, apa Muldoko menganggap berkumpul, berserikat dan
menyampaikan pendapat di muka umum serta berkirim surat ke DPR RI –seperti yang
telah dilakaukan KAMI, dianggap tidak sesuai dengan hukum.
Luar biasa. Sejak dideklarasikan 18 Agustus 2020 lalu, KAMI
tidak henti dihujani fitnah, cerca dan umpatan. Dinarasikan, malah
didiskripsikan, seolah KAMI adalah kumpulan orang-orang yang sakit hati karena
terlempar dari kekuasaan; orang-orang yang ingin merebut kekauasaan; kumpulan
orang-orang yang penya kepentingan; antek Orde Baru yang ingin come back dan
lain-lain lagi yang pada pokoknya
menggambarkan KAMI itu jelek.
Sepertinya kian terang bahwa, kutub demokrasi di negeri ini
berangsur berubah. Dalam demokrasi yang sehat, kutub itu adalah
pemerintah/penguasa di satu sisi dan partai oposisi serta pers dan perangkat
lainnya di sisi lain. Kini, kutub itu akan berubah menjadi pemerintah/penguasa
di satu sisi dan KAMI di sisi lain. Ini terjadi karena partai-partai dan pers
mainstream sudah berasa bagian dari penguasa. Hebatnya lagi, yang jadi oposisi
sepertinya justeru adalah pemerintah, bukan KAMI.
Wajar, memang, penguasa merasa gusar. Soalnya, KAMI lahir di
saat-saat penguasa sudah merasa berada di zona nyaman. Ibarat berkendaraan,
penguasa sudah merasa di jalan arteri: jalan ringkas mencapai tujuan tanpa
hambatan. Tinggal tancap gas. Partai-partai bukan lagi halangan, malah sudah
menjadi tenaga pendorong sehingga kendaraan memiliki mesin turbo. Kalau pun ada
hambatan, diperkirakan itu tak lebih dari sobekan kertas di tepi jalan yang
akan melayang diterpa angin kencang kendaraan. Itulah sebabnya DPR RI dan
pemerintah (kita sebut saja penguasa), sangat percaya diri untuk tidak
menghiraukan suara-suara yang minta penghentian pembahasan atau judicial review
sejumlah RUU/UU yang tidak berpihak pada rakyat –seperti Omnibus Law, Copvid,
Minerba, HIP, BIP dll. Bahklan Majelis Ulama se-Indonesia pun –yang berteriak
keras menolak RUU HIP dan RUU BIP, dianggap angin lalu.
Menyedihkan memang, di negara mayoritas Islam, lembaga Ulama
tidak digubris. Tetapi, itulah kenyataannya. Malah, sudah ada yang berani coba
melempar ide untuk membubarkan lembaga itu dengan nada melecehkan.
KAMI hadir untuk maksud meluruskan kiblat bangsa yang
dinilai sudah melenceng. Kiblat bangsa yang dimaksud adalah cita-cita bernegara
sesuai dengan UUD 1945 yang diberlakukan berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959. Apa saja yang telah melenceng, dan seberapa jauh melencengnya, dituangkan
dalam Maklumat KAMI. Termasuk dalam Maklumat itu adalah delapan tuntutan.
Maklumat itu pun telah pula dikirimkan ke para pemegang kekuasaan di negerei
ini.
Hebatnya, meski bukan organisasi struktural, dari sejak akan
dideklarisikan, gerakan ini –yang dibidani antara lain oleh Din Syamsuddinini,
MS Kaban, A Yani, Abdullah Heha Mahua, Syah Ganda Nainggolan, Marwan Batu Bara
dan kemudian merangkul Jendral (Purn) Gatot Nurmantio dan KH Rokhmat Wahab,
Rocky Gerung serta sejumlah aktivis— sudah mendapat sambutan luar biasa dari
masyarakat. Ini sangat mungkin karena setidaknya dua hal.
Pertama, deklarator KAMI dikenal sebagai orang yang relative
dapat dipercaya mewakili pikiran masyarakat; mewakili kelompok Islam dan bukan
Islam, kelompok (dari arus utama Islam) Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama;
kelompok sipil dan TNI (Purnawirawan); kelompok intelektual dan berbagai
profesi. Dengan demikian, KAMI tepat menyandang Gerakan Moral.
Kedua, apa yang dituangkan dalam Maklumat Menyelamatkan
Indonesia, secara khusus delapan tuntutan yang ditujukan kepada pengelola
negara, senada dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan rakyat. Artinya,
delapan tuntutan KAMI itu dirasakan rakyat persis mewakili tuntutan mereka.
Dengan demikian, delapan tuntuntan KAMI itu bisa disebut PANTURA (Delapan
Tuntutan Rakyat).
Begitulah sehingga pertumbuhan dan dukungan terhadap KAMI
serasa mengejutkan. Tanpa ada yang mengarah-arahkan, tanpa ada yang
mendorong-dorong dan tanpa pula ada aliran dana, berbagai daerah berebut
deklarasi dan menyatakan dukungan. Kalau saja ini oraganisasi struktural biasa
dan formal, tentulah –untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingklat
Kabupaten/kota di seluruh Indonesia,
memerlukan waktu bertahun-tahun
dan biaya yang tidak sedikit. Tapi KAMI tumbuh dari hati dan jiwa rakyat
sehingga segalanya di luar kebiasaan.
Boleh jadi dua hal itu pula yang menimbulkan kegusaran bagi
penguasa. KAMI dianggap sebagai sebuah kekuatan yang muncul di luar dugaan
sekaligus juga sulit dikendalikan. Ia menjadi penghalang bagi arah dan laju
kenderaan yang sedang dipacu. Setidaknya, kelahiran KAMI menyadarkan penguasa
bahwa mereka tidak lagi sedang berada di jalan arteri tanpa hambatan.
Oleh karena demikian, penguasa coba menyingkirkan KAMI.
Caranya, itu tadi: labelisasi KAMI dengan yang jelek-jelek. Ada pula
upaya-upaya melahirkan “KAMI” tandingan dengan narasi dukungan kepada penguasa
dan mengecam KAMI Gerakan Moral yang di deklarisikan di tugu proklamasi. Lebih
dari itu, ada upaya-upaya yang terasa dirancang untuk melakukan persekusi
terhadap kegiatan KAMI di daerah-daerah. Muldoko sudah pula bersuara sedikit
mengancam.
Tetapi ini sungguh di luar dugaan. Tindakan-indakan upaya
“menyingkirkan” itu bukannya megecilkan KAMI, malah sebaliknya, KAMI semakin populer
dan menuai banjir simpati. Sepertinya KAMI sedang kebanjiran berkah playing
victim. Permintaaan deklarasi sudah hampir meliputi semua kabupaten/kota.
Entahlah, apakah “oposisi” terhadap KAMI ini satu saat nanti
berubah jadi tindakan repressif penguasa. Muldoko lah yang tahu persis. Tapi
jika ini terjadi, negara ini akan hancur sehancur-hancurnya. Percayalah! KAMI
telah menjadi gerakan rakyat.
Menurut hematku, penguasa negeri ini harus memiliki
political will untuk mendengar suara rakyat. Cuma itu yang bisa menghindari
kekacauan negeri ini. Penguasa harus tampil elegan.
Menghadapi gerakan moral KAMI, penguasa harus menunjukkan
sikap lebih bermoral. Dengan demikian moral penguasa berada di atas moral KAMI.
Jangan melontarkan pernyataan-pernyataan atau melakukan tindakan yang justeru
menunjukkan rendahnya moralitas penguasa.
Adalah elegan bila penguasa menjawab secara akademis dan
melakukan tindakan praktis berkenaan dengan PANTURA. Mendengar, mendiskusikan
pandangan dan memenuhi aspirasi rakyat, tidaklah akan menjatuhkan wibawa
penguasa. Itu justeru meningkatkan moralitas penguasa, meningkatkan trust
rakyat kepada penguasa serta menumbuhkuatkan dukungan terhadap penguasa.
Bukankah pemerintah (penguasa) ini diamanahkan konstitusi
untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa
dan menciptakan kesejahteraan serta keadilan sosial? Bagaimana pemerintah dapat
mengukur apakah tugas itu sudah dijalankan dengan baik atau malah sudah
menyimpang, kalau tidak mendengar jeritan rakyatnya? Suara rakyat itu telah
dituangkan dalam bentuk PANTURA –delapan tuntutan rakyat.
Sekali lagi, menurut hematku, mendengar PANTURA adalah
tindakan penguasa yang elegan dan bermoral tinggi. Itu kalau pemerintah memang
bermaksud berkeja untuk kepentingan rakyat, Kalau untuk kepentingan lain, aku
tidak punya jawaban. Tapi KAMI sudah menentukan sikap: We are at the point of
no return, kita berada pada posisi yang tidak ada tempat kembali. KAMI datang
bukan untuk pulang!
Wallahu a’lam bisshawab.
*Penulis adalah Ketua Panitia Masyumi Reborn dan Ketua
Komisi di MUI Medan.
Oleh Dr. Masri Sitanggang