SWARAKYAT.COM - Keputusan tetap menyelenggarakan Pilkada serentak pada 9 Desember nanti diduga kuat terdapat kepentingan para cukong.
Hal itu disampaikan peneliti Indonesia Corruption Watch
(ICW), Egi Primayogha yang menilai bahwa pelaksanaan pilkada di tengah pandemi
Covid-19 rawan politik uang dan mengancam keselamatan rakyat.
Menurut Egi, jalan untuk menunda pilkada sangat terbuka
lebar seperti yang tercantum dalam Pasal 201A Ayat 3 Perppu 2/2020 yang
menegaskan bahwa pilkada dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila pandemi
Covid-19 belum berakhir.
“Keputusan untuk tetap melaksanakan pilkada juga menjadi
janggal apabila melihat pemilihan kepala desa (pilkades) diputuskan ditunda
dengan alasan keselamatan warga, sementara pilkada tetap dijalankan,” ujar Egi
Primayogha kepada wartawan, Jumat (2/10).
Egi menduga kuat adanya kepentingan lain di balik keputusan
tetap menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember meskipun pandemi masih menghantui
masyarakat.
“Sudah menjadi rahasia umum pilkada merupakan ajang
transaksi kepentingan bagi para cukong. Bahkan Menteri Koordinator Hukum dan
HAM, Mahfud MD menyinyalir 92 persen calon kepala daerah disokong para cukong.
Para cukong ini akan mendapatkan keuntungan ekonomi politik berlipat-lipat saat
calonnya menang dalam kontestasi pilkada nanti,” jelas Egi.
Dengan demikian, kata Egi, jika Presiden Joko Widodo tetap
bersikukuh untuk tidak menunda Pilkada 2020 dengan dalih yang tidak cukup masuk
akal, maka presiden dapat dianggap tidak memprioritaskan keselamatan warga.
“Sebaliknya, presiden dapat dianggap lebih mendahulukan
kepentingan politik dan kepentingan para bandar yang mungkin telah ‘membeli’
pilkada di depan,” pungkas Egi.