Dalam persidangan, Napoleon buka-bukaan ihwal pengurusan red
notice Djoko Tjandra. Ia bahkan menyebut nama Kabareskrim Polri Komisaris
Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo dan Wakil Ketua DPR RI Bidang Politik dan
Keamanan.
Awalnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Sophan menanyakan kepada
Napoleon ihwal awal perkenalannya dengan Tommy Sumardi. Napoleon pun menuturkan
bahwa ia mengenal Tommy pada awal April 2020. Kala itu, ia dikenalkan oleh
Brigjen Prasetijo Utomo selaku Kabiro Kordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri.
"Dia (Prasetijo) datang ke kantor saya di TNCC lantai
11 bersama dengan Terdakwa (Tommy). Maksud dan tujuannya adalah memperkenalkan
terdakwa pada saya. Kemudian, setelah dikenalkan tidak berapa lama pada saat
itu, terdakwa mengatakan pada Brigjen Prasetijo, silakan bintang satu keluar
dari ruangan ini urusan bintang tiga, sehingga Brigjen Prasetijo menunggu di
ruang Sespri saya, sehingga saya berada di ruangan dengan terdakwa, pada saat
itu terdakwa menjelaskan maksud dan tujuan, untuk minta bantuan mengecek status
red notice Djoko Tjandra, " terang Napoleon.
Usai ditinggal berdua saja dengan Tommy, Napoleon pun
menanyakan kaitan Tommy dengan Djoko Tjandra. Hal ini lantaran Tommy bukanlah
saudara, keluarga ataupun pengacara Djoko Tjandra. Kepada Napoleon, Tommy
mengaku sebagai teman Djoko Tjandra.
Napoleon mengaku belum begitu yakin dengan penjelasan Tommy.
Untuk meyakinkan Napoleon, Tommy pun membawa nama Kabareskrim Komjen Listiyo
Sigit.
"Lalu dia bercerita, terdakwa yang mengatakan, ini
bukan bahasa saya, tapi bahasa terdakwa pada saya, menceritakan kedekatan
beliau, bahwa ke tempat saya ini sudah atas restu Kabareskrim Polri. Apa perlu
telepon beliau? Saya bilang tidak usah, saya bilang Kabareskrim itu junior
saya, tidak perlu. Tapi saya yakin bahwa kalau seorang Brigjen Pol Prasetijo
Utomo dari Bareskrim dibawa ke ruangan saya, ini pasti ada benarnya, "
tutur Napoleon
"Tetapi saya kembali tidak mudah percaya lalu melihat
gestur saya kurang percaya. Terdakwa menelpon seseorang. Setelah sambung,
terdakwa seperti ingin memberikan teleponnya pada saya. Saya bilang siapa yang
anda telepon mau disambungkan pada saya?" lanjut Napoleon.
"Terdakwa mengatakan 'Bang Aziz', Aziz siapa? 'Azis
Syamsuddin'. Oh Wakil Ketua DPR RI? Ya. Karena dulu waktu masih Pamen saya
pernah mengenal beliau, jadi saya sambung, 'Asalamualaikum, selamat siang Pak
Aziz, eh bang apa kabar. Baik. Pak Aziz saya sampaikan, ini di hadapan saya ada
datang pak haji Tommy Sumardi. Dengan maksud tujuan ingin mengecek status red
notice. Mohon petunjuk dan arahan pak. Silakan saja, pak Napoleon. Baik'.
Kemudian telepon ditutup, saya serahkan kembali. Menggunakan nomor HP terdakwa,
" jelas Napoleon.
"Jadi terus terang, saya melihat pertama kedatangan
Brigjen Prasetijo mengantarkan pak Tommy menemui saya pasti ada sesuatu. Dan
betul kemudian terdakwa menceritakan banyak hal pada saya tentang kedekatan
beliau dengan Kabareskrim Polri," ujar Napoleon.
Mendengar penuturan Napoleon, JPU pun ingin menanyakan
keterkaitan dengan Djoko Tjandra. Namun, Napoleon masih ingin terus menjelaskan
terkait cerita Tommy yang akhirnya membuat dirinya percaya kedekatan Tommy
dengan Kabareskrim.
"Saksi ini terkait Djoko Tjandra, " sela Jaksa.
"Mohon waktu penuntut umum saya melanjutkan sedikit
lagi.
Termasuk menceritakan bagaimana beliau menjadi Koordinator
pelaksana enam dapur umum yang dikelola oleh Kabareskrim Polri, tersebar di
enam titik di kota Jakarta, Menteng, Tanah Abang, dan beberapa pos itu.
Sehingga saya menjadi lebih mafhum, tapi pada saat itu saya mengatakan begini,
kalau bapak ingin mengecek red notice
Djoko Tjandra saya tidak punya posisi yang kuat," terang Napoleon.
Selain Napoleon, JPU juga menghadirkan saksi lainnya yakni
Brigjen Nugroho Slamet Wibowo yang sempat menjabat
Sekretaris NCB Interpol Indonesia. Namun setelah sengkarut Djoko Tjandra
muncul, Brigjen Nugroho dimutasi menjadi Analis Kebijakan Utama Bidang Jianbang
Lemdiklat Polri.
Dalam persidangan, Nugroho menceritakan mekanisme Red
Notice. Ia meneramgkan bahwa red notice
terhapus apabila tersangka meninggal dunia dan kemudian ada permintaan dari
pemohon red notice.
"Saya kira cuma dua itu," kata Nugroho.
"Jangka waktunya kapan terhapus, " tanya Jaksa.
"Terhapus dalam jangka lima tahun. Kalau red notice
apabila sudah habis masa berlakunya, maka secara sistem dia akan terhapus
dengan ketentuan dari Interpol," jawabnya.
Jaksa lantas menanyakan kapan red notice Djoko Tjandra
terhapus.
"Saya kan masuk 2020, yang saya baca data
diinformasikan ke saya 2019 Januari ada informasi saja permintaan pertanyaan
apabila tidak ada jawaban negara yang minta akan terhapus by system, Januari
2019," jawab Nugroho.
"Apakah Januari 2019 status red notice Djoko Tjandra
masih aktif?" tanya jaksa lagi.
"Tidak demikian juga, aktif itu kalau data yang
menyertainya masih lengkap. Tidak dimintakan perpanjangan Juni akan terhapus by
system," kata Nugroho.
Nugroho mengatakan red notice Djoko Tjandra hanya bisa
dilihat dan datanya tidak valid. Red notice Djoko Tjandra, sebut Nugroho, sudah
tidak valid sejak 2014.
Sebelumnya, JPU mendakwa pengusaha Tommy Sumardi menjadi
perantara suap terhadap kepada Irjen Napoleon Bonaparte sebesar 200 ribu dolar
Singapura dan 270 ribu dolar AS, serta kepada Brigjen Prasetijo Utomo senilai
150 ribu dolar AS.
Tommy Sumardi menjadi perantara suap dari terpidana kasus
hak tagih Bank Bali, Djoko Tjandra. Suap itu ditujukan agar nama Djoko Tjandra
dihapus dalam red notice atau Daftar Pencarian Orang Interpol Polri.
Sementara, Djoko Tjandra didakwa menyuap Irjen Napoleon
sebesar 200 ribu dolar Singapura dan 270 ribu dolar AS. Djoko Tjandra juga
didakwa memberikan suap kepada Brigjen Prasetijo sebesar 150 ribu dolar AS.
Suap itu diberikan Djoko Tjandra melalui perantara seorang pengusaha, Tommy
Sumardi.
Djoko Tjandra diduga menyuap dua jenderal polisi tersebut
untuk mengupayakan namanya dihapus dari Daftar Pencarian Orang (DPO) yang
dicatatkan di Ditjen Imigrasi, dengan menerbitkan surat yang ditujukan kepada
Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI. []