Sidang tersebut dihadiri kedua belah pihak, yakni pemohon dari Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) dan para termohon, yakni Polda Metro Jaya, Bareskrim Polri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI.
Sidang dengan nomor perkara nomor perkara
128/Pid.Pra/2020/Pn.Jaksel itu dipimpin oleh hakim tunggal, yaitu Yusdhi. i SH,
sedangkan materi permohonan dibacakan oleh Kurniawan Adi Nugroho selaku Kuasa
Hukum MAKI dan Lembaga Pengawas dan Pengawal Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI).
Materi permohonan yang dibacakan, terdapat 16 poin, salah
satunya adalah, hingga permohonan praperadilan aquo diajukan ke PN Jaksel,
termohon II (Bareksrim Polri) tidak menetapkan tersangka dan termohon III
(Kejati DKI) tidak segera mengajukan berkas perkara untuk dilakukan penuntutan
ke pengadilan Tidak Pidana Korupsi.
Dengan berlarut-larutnya penetapan atas perkara pokok
korupsi pembelian tanah Cengkareng, sudah seharusnya diambil alih oleh termohon
IV yakni KPK. Namun, hal yang sama juga tidak dilakukan oleh lembaga antirasuah
tersebut.
Koordinator MAKI Bonyamin Saiman, menambahkan, sidang akan
kembali dilanjutkan Selasa (1/12) dengan agenda mendengarkan jawaban dari para
termohon. Gugatan praperadilan tersebut diajukan oleh MAKI ke PN Jaksel pada 13
Oktober 2020.
Sidang pembacaan permohonan sempat ditunda sebanyak dua kali
karena termohon dari Bareskrim Polri tidak hadir, yakni pada 3 November dan 16
November 2020. Bonyamin menyebutkan, pihaknya mengajukan gugatan
praperadilanmangkraknya kasus penyidikan perkara pembelian lahan di Cengkareng,
Jakbar untuk rumah susun (rusun) oleh Pemprov DKI Jakarta yang ditangani
Bareskrim Polri.
Kasus tersebut telah bergulir sejak 2015, yakni pembelian
lahan seluas 46 hektare dengan dana sebesar Rp 668 miliar lebih pada masa
Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Lahan yang dibeli oleh Dinas Perumahan dan Gedung
Perkantoran Provinsi DKI Jakarta dengan dana bersumber dari APBD DKI tersebut
diduga kuat telah terjadi tindak pidana korupsi. “Ternyata tanah yang
dibelanjakan sudah milik Pemprov DKI, sudah jadi aset. Jadi, sama dengan
membeli barangnya sendiri,” kata Boyamin.
Dugaan korupsi ini diperkuat dengan hasil klarifikasi yang
dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa pembayaran
yang dilakukan oleh Pemprov DKI kepada orang yang mengaku pemilih lahan
bersertifikat adalah salah.
Selain itu, PN Jakbar memutuskan pelapor yang mengaku
memiliki sertifikat atas lahan yang dibeli, tidak berhak menerima pembayaran
karena tanah tersebut sudah menjadi milik negara. “Diduga sertifikat yang
dimilikinya asli tapi palsu,” kata Boyamin.
Berdasarkan temuan tersebut, Bareskrim Polri menelusuri
perkara tersebut dan pada 2015 penyidikan telah dilakukan dan beberapa pihak
telah diperiksa termasuk Gubernur Ahok dan wakilnya Djarot Saiful Hidayat.
Hingga 2018 perkara tersebut dilimpahkan oleh Bareskrim ke
Polda Metro Jaya. Menurut Boyamin, hingga kini, MAKI menilai tidak ada
pergerakan apa-apa yang dilakukan penyidik kepolisian.
“Nah di Polda Metro jaya tidak ada pergerakan apa-apa,
padahal di Bareskrim sudah ada, surat pemberitahuan dimulainya penyidikan
(SPDP) kepada Kejaksaan Agung. Atas mangkraknya perkara inilah makanya MAKI
menggugat,” kata Boyamin.