SWARAKYAT.COM - Politikus Nasdem dan Golkar diduga memainkan impor produk hortikultura. Menggunakan jalur partai di Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan untuk menjajakan kuota.
Majalah Tempo edisi terkini.
Penetapan kuota impor komoditas hortikultura di Kementerian
Pertanian dan persetujuan impor di Kementerian Perdagangan terlambat.
Akibatnya, impor buah melewati musim panen, yang membuat stok langka dan
harganya menjadi mahal. Penelusuran Tempo dan The Australian Financial Review
menemukan keterlambatan tak semata karena proses administratif, tapi
tawar-menawar tarif sebagai imbalan. Harganya variatif, dari Rp 1.000 hingga Rp
2.000 per kilogram. Tahun ini Indonesia hendak mengimpor komoditas lebih dari 1
juta ton.
- Proses pengurusan perizinan impor buah bermasalah mulai
dari Kementerian Perdagangan hingga Kementerian Perdagangan. .
- Sejumlah importir mengaku mesti membayar kutipan liar
untuk mendapatkan rekomendasi impor produk hortikultura dan surat persetujuan
impor.
- Beberapa petinggi partai politik diduga ikut terlibat. .
Di tengah kelangkaan buah impor dan bawang putih, akibat
merebaknya virus corona di sejumlah negara pengekspor, para importir komoditas
hortikultura Indonesia dikejutkan oleh beredarnya surat elektronik Ketua
Eksekutif Australian Table Grape Association Jeff Scott. Surat bertanggal 10
Maret 2020 itu menyoal rekomendasi impor produk hortikultura (RIPH) yang
diterbitkan Kementerian Pertanian Indonesia.
Scott memberitahukan bahwa empat hari sebelumnya ia
mendengar kabar RIPH untuk ekspor anggur telah diterbitkan Menteri Pertanian
Syahrul Yasin Limpo buat empat perusahaan milik Helbeth Sakti. Menurut Scott,
Helbeth akan mengenakan Aus$ 10 ribu per kontainer untuk ongkos kirim.
Scott mengakui menulis surat itu. Menurut dia, surat
tersebut ia tujukan kepada para petani anggur Australia yang mengeluhkan anggur
mereka tak kunjung bisa dikirim ke Indonesia karena penerbitan RIPH terlambat
dari jadwal biasanya. “Keterlambatan itu membuat perdagangan anggur terhenti,”
katanya kepada Emma Connors, jurnalis The Australian Financial Review yang
membantu Tempo dalam liputan ini, pada Rabu, 21 Oktober lalu. “Karena Indonesia
adalah pasar kedua terbesar anggur Australia.”
Pada 2019, menurut Scott, Indonesia menerima 23.167 ton
anggur Negeri Kanguru. Akibat keterlambatan penerbitan RIPH dan surat
persetujuan impor (SPI) oleh Kementerian Perdagangan, hingga Juni 2020,
pengiriman anggur Australia turun 42 persen sehingga devisa anjlok tinggal Aus$
45,25 juta. Menurut Scott, situasi itu merugikan petani karena mereka
berkejaran dengan musim panen pada Desember-Mei.
Dalam surat itu, Scott mengaku sudah meminta bantuan Menteri
Pertanian David Littleproud dan Menteri Perdagangan Simon Birmingham.
Littleproud kemudian menemui Duta Besar Indonesia Yohanes Kristiarto Soeryo
Legowo untuk membahas soal keterlambatan pengiriman anggur itu. “Saya sampaikan
kepada Duta Besar kekhawatiran petani atas keterlambatan penerbitan RIPH itu,”
ujar Littleproud.
Kekhawatiran yang menemukan kenyataan. Meski RIPH terbit
pada Maret, Kementerian Perdagangan baru menerbitkan persetujuan impor untuk
buah Australia pada Mei sebanyak 132 ribu ton. Walhasil, kata Scott, petani anggur
Australia tetap gigit jari. “Mereka tak bisa memanfaatkan izin itu,” ucapnya.
Surat Jeff Scott itu pun memantik keriuhan di kalangan
importir buah Indonesia. Komisi Pertanian Dewan Perwakilan Rakyat membahas
e-mail itu ketika menggelar rapat dengan Menteri Syahrul Yasin Limpo. Dalam
rapat itu bahkan ada usul agar polisi dan Komisi Pemberantasan Korupsi
mengusutnya karena ada kecurigaan korupsi dalam keterlambatan tersebut. Izin
tak hanya diberikan kepada empat perusahaan milik satu orang, penundaan juga
memantik kecurigaan permainan izin.
Di kalangan importir buah sudah menjadi rahasia umum bahwa
untuk mendapatkan izin kuota impor hortikultura melalui RIPH di Kementerian
Pertanian dan persetujuan impor di Kementerian Perdagangan ada pungutan di luar
biaya resmi. Nilainya dari Rp 1.000 hingga Rp 2.000 per kilogram.
Tiga orang importir bercerita, untuk mendapatkan kuota,
mereka ditawari dua politikus Senayan menyetor pungutan. Begitu RIPH terbit,
mereka mesti menyediakan setoran lagi untuk mendapatkan persetujuan impor.
Mereka yang menolak membayar tak akan mendapatkan izin atau kuota mereka
dipangkas dengan persetujuan impor yang digantung hingga enam bulan.
Tarif liar impor, terutama komoditas buah, sebetulnya jauh
lebih murah dibanding setoran izin untuk impor bawang putih. Dalam investigasi
Tempo bulan Februari 2020, terungkap bahwa setoran impor komoditas ini mencapai
Rp 3.500 per kilogram. Dengan tarif itu, harga bawang putih pada awal tahun ini
melonjak hingga Rp 100 ribu kilogram di pasar tradisional.
Australia bergerak cepat. Selain melobi para pejabat di Indonesia,
mereka mendorong implementasi perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif pada 5
Juli 2020 untuk mencegah izin impor buah-buahan dan komoditas hortikultura tak
lagi terlambat. Toh, perjanjian itu tak menyurutkan praktik lancung pungutan
izin. Buktinya, hingga April 2020, dari 81 perusahaan yang memperoleh RIPH,
hanya 21 perusahaan yang mendapatkan hak mengimpor pelbagai komoditas itu.
Para importir lama terpental dari percaturan impor
hortikultura. Pemegang lisensi impor kini pengusaha baru, semacam Helbeth
Sakti, yang belum memiliki rekanan kunci pemasok buah-buahan. Karena itu,
Asosiasi Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia menggugat
Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan ke pengadilan tata usaha
negara atas tuduhan monopoli izin. “Ada 23 importir yang ditolak permohonan
kuotanya padahal memenuhi syarat,” kata Ayub Adonia Fina, pengacara Asosiasi.
Direktur Jenderal Hortikultura Kementerian Pertanian
Prihasto Setyanto mengakui ada keterlambatan penerbitan RIPH karena ada perbaikan
sistem akibat protes Amerika Serikat terhadap penerjemah tersumpah dalam urusan
dokumentasi impor. Tapi ia menyangkal ada monopoli melalui pemberian kuota
kepada pengusaha tertentu. “Tanya kepada importir, apakah ada monopoli,”
ujarnya.
Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Muslim Arbi
mengatakan RIPH dan SPI anggotanya digantung hingga enam bulan tanpa kejelasan.
Akibatnya, pengusaha merugi karena operasi kantor tetap berjalan, sementara
impor buah memiliki waktu sempit lantaran tergantung musim. Seperti cerita Jeff
Scott, kata Anton, ketika izin terbit pun para importir tidak bisa memakainya
karena musim buah sudah selesai.
Anton mengkonfirmasi cerita para importir yang mengaku
dimintai setoran untuk mendapatkan izin. “Ada praktik tidak sehat di dua
kementerian itu,” tuturnya.
Para pelakunya bukan semata pejabat di dua kementerian, tapi
juga politikus partai yang kadernya berkuasa di dua kementerian tersebut.
Mereka menyebut secara spesifik Wakil Ketua Umum Partai NasDem Ahmad Ali dan
Ketua DPP NasDem Rusdi Masse Mappasessu yang mengatur kuota impor di
Kementerian Pertanian. Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo adalah kolega
mereka.
Sejak Syahrul memimpin Kementerian Pertanian pada 19 Oktober
2019, dua politikus yang duduk di Komisi Pertanian dan Komisi Hukum DPR itu
memanggil para importir untuk membicarakan kuota dan harganya. Untuk buah,
mereka mematok pungutan Rp 1.000 per kilogram. Sepanjang Januari hingga April
tahun ini, Kementerian Pertanian menerbitkan RIPH buah sebanyak 1 juta ton.
Seorang importir bercerita, pengaturan kuota itu dirancang
di Hotel Pacific Place, Jakarta, pada 5 Maret lalu. Selain membawa Helbeth
Sakti, Ahmad Ali dan Rusdi Masse memanggil Prihasto Setyanto. Menurut dia,
Prihasto mengetik sendiri kuota impor untuk empat perusahaan Helbeth dengan
waktu terbit 6 Maret 2020. Cerita ini cocok dengan cerita Jeff Scott dalam
suratnya untuk para petani anggur Australia.
Tak hanya cocok dengan cerita Scott, data Kementerian
Pertanian yang direkap para importir juga mengkonfirmasinya. RIPH impor buah 6
Maret 2020 terbit untuk empat perusahaan: PT Cipta Aneka Buah sebanyak 23.425
ton, PT Esha Makmur Bertani 2.000 ton, PT Meta Jaya Nusantara 8.000 ton, dan CV
Gemala Mas Indonesia 7.000 ton. Buah yang akan diimpor adalah anggur dan jeruk
Australia. PT Cipta Aneka Buah salah satu perusahaan milik Helbeth.
Menurut para importir, kuota impor yang dibicarakan di
Pacific Place tak semata buah, tapi semua komoditas hortikultura, terutama
bawang putih dan bawang bombai, yang sedang langka. Tarif untuk kuota itu
macam-macam. Bawang putih Rp 2.000 per kilogram, bawang bombai Rp 1.000, dan
buah Rp 1.000. Setoran itu mesti dibayar di muka 50 persen dan sisanya setelah
rekomendasi terbit.
Ahmad Ali dan Rusdi Masse terkenal dekat dengan para pejabat
Kementerian Pertanian. Pada 10 Januari lalu, misalnya, Ali memboyong 14 pejabat
setingkat direktur ke Kabupaten Parigi Moutong dan Donggala, Sulawesi Tengah,
asal daerah pemilihannya menjadi anggota DPR.
Di Parigi Moutong, mereka menyerahkan bantuan 25 alat mesin
pertanian jenis traktor tangan roda empat. Sedangkan di Donggala, mereka
menyerahkan bantuan Rp 100 miliar dana Kredit Usaha Rakyat, 100 sapi, 100
kambing, benih bawang putih untuk 700 hektare, dan benih bawang merah untuk 50
hektare. “Dulu saya hadir di tempat ini membawa harapan. Sekarang saya hadir
menunaikan harapan,” ujar Ali saat itu.
Ketika Tempo menghubunginya pada awal Oktober lalu, Ali
mengaku sedang berada di Sulawesi Tengah. Dia berjanji memberikan jawaban
tertulis. Namun, hingga artikel ini terbit, ia tak kunjung memenuhi janjinya.
Tiga puluh kali panggilan telepon juga tak berbalas. Di Sulawesi Tengah, ia
selalu berpindah tempat.
Adapun Rusdi Masse tak merespons surat permintaan wawancara
yang dititipkan di kantor NasDem dan melalui istrinya. “Bapak sedang reses dan
sedang berkunjung ke daerah pemilihan,” kata Fatmawati Rusdi, istri Rusdi, pada
Senin, 26 Oktober lalu. “Jika saya sudah bisa menghubunginya, akan saya
sampaikan permintaan wawancara.”
Sementara itu, Prihasto Setyanto mengakui bertemu dengan
Ahmad Ali dan Rusdi Masse pada Maret lalu. “Mereka bertanya tentang mekanisme
penerbitan RIPH,” ujarnya. Namun ia membantah adanya pertemuan di Pacific Place
dan kesepakatan mengenai uang setoran untuk memperoleh RIPH. Prihasto juga
mengaku tidak mengenal Helbeth Sakti. “Bisa cek kepada yang bersangkutan.”
Adapun Helbeth Sakti terus menghindar. Saat Tempo
menghubunginya pada 13 Oktober lalu, dia mengatakan sedang berada di Medan
selama satu pekan dan bersedia memberikan keterangan setelah balik ke Jakarta.
Sepuluh hari kemudian, ia menyatakan baru sampai Jakarta. “Saya coba cari waktu
dulu,” ucapnya. Helbeth kembali membatalkan rencana pertemuan dengan alasan ada
keperluan mendadak di luar kota.
Ketika Tempo mendatangi kantor PT Gentong Sakti Berjaya,
salah satu perusahaan importir milik Helbeth di Rumah Kantor Nirwana Sunter
Asri Tahap III Nomor 22-23, petugas penerima tamu mengatakan bahwa bosnya
sedang ada di Jakarta. “Tapi sekarang sedang ke luar kantor,” ujarnya, Selasa,
27 Oktober lalu. Tahun ini PT Gentong mengantongi izin impor buah sebanyak
15.056 ton. Perusahaan Helbeth yang lain, PT Cipta Aneka Buah, juga memperoleh
izin impor 23.425 ton.
Sejumlah politikus NasDem mengatakan Ahmad Ali dan Rusdi
Masse leluasa mengatur kuota impor hortikultura di Kementerian Pertanian karena
punya pengaruh politik di dalam partai ketimbang Syahrul Yasin Limpo. Sebagai
Wakil Ketua Umum Partai, kata mereka, Ali bisa mengatur Syahrul Limpo, yang
merupakan orang baru di NasDem.
Para politikus NasDem bercerita bahwa urusan izin impor
sudah menjadi cerita panas di dalam partai. Sebuah pertemuan mendadak dilakukan
di Pulau Kaliage, Kepulauan Seribu, khusus membahas soal itu. Hasilnya, Ahmad
Ali dan Rusdi Masse mesti mengklarifikasi isu tersebut. Ali menolak, Rusdi tak
bisa dihubungi. “Saya pastikan tak ada aliran uang ke partai,” tutur Ahmad
Sahroni, Bendahara Umum Partai NasDem.
•••
PADA awal Juni 2020, ketika gugatan Asosiasi
Eksportir-Importir Buah dan Sayuran Segar Indonesia sedang berlangsung di
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, Kementerian Pertanian menerbitkan
rekomendasi impor produk hortikultura untuk para anggota Asosiasi. Pengacara Asosiasi,
Ayub Adonia Fina, lalu mencabut gugatan sebulan kemudian. Namun RIPH itu tetap
tak membuat para importir bisa mendatangkan komoditas karena masih perlu
persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan.
Seperti RIPH, di Kementerian Perdagangan pun persetujuan
impor serba tak pasti. Meski secara aturan importir yang sudah memperoleh RIPH
mesti mendapat persetujuan maksimal dua hari, praktiknya banyak importir yang
harus menunggu hingga enam bulan. Tapi, untuk beberapa importir bukan anggota
Asosiasi, persetujuan impor tetap terbit.
Seperti persetujuan impor untuk PT Green Box Fresh
Vegetables, yang memperoleh kuota impor buah 7.000 ton. Padahal kapasitas
pendingin perusahaan ini hanya 850 ton.
Seorang importir buah di Jakarta mengatakan apa yang terjadi
di Kementerian Perdagangan tidak jauh berbeda dengan keadaan di Kementerian
Pertanian. Para importir yang ingin mendapatkan persetujuan atas kuota impor
mereka secara cepat dan kuota tak dipotong mesti membayar kutipan. “Ibarat
lewat jalan tol, yang mau bayar tarif tol bisa jalan dengan lancar. Yang tidak
mau bayar, ya, bakal tersendat,” ujarnya.
Importir lain bercerita, ia menemui Wakil Menteri
Perdagangan Jerry Sambuaga di Hotel Aryaduta, Jakarta, pada Februari lalu. Ia
meminta Kementerian Perdagangan menerbitkan persetujuan impor untuk perusahaan
rekannya. Deal. Jerry, politikus Golkar itu, meminta imbalan Rp 1.500 per
kilogram. Angka ini pun mereka sepakati.
Tiga jam setelah importir ini keluar dari hotel, anggota
staf Jerry menghubunginya. “Dia minta tarif naik menjadi Rp 2.000,” katanya.
Setelah berdiskusi dengan pemilik kuota impor buah, mereka sepakat tak
melanjutkan transaksi itu karena menggerus untung mengimpor buah Australia.
Permintaan setoran bertemu dengan kepentingan importir yang
ingin cepat-cepat mendapat izin agar bisa mengatur impor buah saat musim panen
mendatang. Izin impor di awal tahun akan membuat mereka leluasa memesan
komoditas jauh-jauh hari sehingga mendapatkan harga murah dan kondisi buah yang
masih segar. Karena itu, mereka bersedia membayar kutipan. Toh, setoran itu
akan menjadi bagian dari ongkos produksi yang dibebankan kepada konsumen.
Sejumlah importir mengatakan Direktur Jenderal Perdagangan
Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana adalah perantara Jerry dengan para
importir. Belakangan, pada Juni lalu, Menteri Perdagangan Agus Suparmanto
menggesernya menjadi Staf Ahli Bidang Iklim Usaha dan Hubungan Antar Lembaga.
Jerry menyangkal adanya pertemuan Aryaduta. Menurut dia,
pertemuan di dalam dan luar kantor dengan pihak lain bukan membicarakan izin
impor. “Perizinan impor bukan bagian dari tugas dan wewenang Wakil Menteri
Perdagangan,” tuturnya.
Adapun Indrasari Wisnu Wardhana mengakui pendekatan sejumlah
importir untuk mendapatkan persetujuan. “Tapi saya tolak dan meminta mereka
mengikuti prosedur,” ujarnya. Soal pungutan liar, kata Wisnu, sistem di
Kementerian Perdagangan tak memungkinkannya karena memakai aplikasi yang
mencegah pertemuan langsung antara importir dan pejabat Kementerian.
Soal persetujuan impor yang tak kunjung terbit selama
berbulan-bulan, Wisnu beralasan karena ada sejumlah importir yang belum
memenuhi persyaratan sehingga permohonannya ditolak untuk perbaikan. Akibatnya
ada penundaan. Sementara itu, untuk importir yang mendapatkan kuota melebihi
kapasitas gudang, hal tersebut terjadi karena pengusaha merevisi permohonannya
dan menyatakan mampu menyewa gudang. “Itu hal yang biasa terjadi,” ucap Wisnu.