Abdul Chair tidak melihat unsur hukum yang kental dalam
penetapan tersangka itu.
"Penetapan status tersangka kepada Imam Besar HRS dan
kelima pengurus FPI bukanlah yuridis, tetapi politis," kata Abdul Chair
dalam pesan singkatnya kepada jpnn, Sabtu (12/12).
Menurut dia, status Indonesia sebagai negara hukum dan
demokrasi semakin dipertanyakan dengan penetapan tersangka yang beraroma
politis. Saat ini, kata dia, Indonesia telah berubah menjadi negara penganut
otoritarianisme.
"Terdapat empat ciri rezim politik otoriter, yakni
komitmen lemah terhadap aturan main demokrasi, penyangkalan legitimasi lawan
politik, toleransi terhadap kekerasan, dan pembatasan kebebasan sipil,"
ujar dia.
Abdul Chair pun mengatakan, ciri negara otoritarianisme ini
telah dipunyai Indonesia. Misalnya ketika Habib Rizieq bersama FPI selalu
ditempatkan sebagai lawan dan selalu mendapatkan teror.
Sebelum hijrah ke Makkah, kata Abdul Chair, Habib Rizieq
bersama FPI menerima teror penembakan di Pondok Pesantren Megamendung, Jawa Barat.
Kemudian, ujarnya, terjadi penembakan yang dilakukan polisi
hingga menewaskan enam laskar FPI di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 Karawang.
"Terlebih lagi ditemukan fakta adanya tanda-tanda bekas
penyiksaan pada sebagian besar tubuh korban sebagaimana disampaikan dalam
keterangan pers oleh DPP FPI dan para keluarga korban secara langsung saat
dengar pendapat di DPR," ujar dia.
Kemudian, sambungnya, pada saat dilakukan upaya pendalaman
kasus tewasnya para laskar oleh Komnas HAM, penyidik justru menetapkan Habib
Rizieq bersama lima pengurus pusat FPI sebagai tersangka kasus kerumunan di
Petamburan.
"Di sisi lain, para pelaku penembakan tidak ditetapkan
sebagai tersangka. Ini semua menimbulkan tanda tanya, ada apa sebenarnya?"
ujar dia.