Ini terlihat sangat politis sekali, bukan sebagai teguran
yang untuk Penegakan Hukum.
Perlu diketahui, tanah-tanah yang bermasalah di pajak ex
perkebunan Cikopo Selatan Gunung Mas yang sekarang diklaim oleh PTPN VIII
seluas sekitar 352.67 ha ini tersebar di 6 desa.
1. Dua desa yakni Desa Sukakarya dan Kopo, Kecamatan
Megamendung seluas lebih kurang 94.26 ha;
2. Desa Sukagalih, Megamendung seluas lebih kurang 40.08 ha;
3. Desa Kuta, Kecamatan Megamendung seluas 65.46 ha;
4. Desa Sukaresmi, Kecamatan Megamendung seluas 97.71 ha;
5. Desa Citeko, Kecamatan Cisarua seluas lebih kurang 55.16
ha.
Jadi, total semua di 6 di desa di 2 kecamatan itu seluas
352.67 ha.
Sedangkan yang menduduki lahan lahan tanah ex PTPN Cikopo
Selatan sebagai berikut:
1. Yayasan Wadi Mubarok, Desa Kuta seluas lebih kurang 5 ha;
2. Yayasan Al Mugni lebih kurang 4 ha Desa Kuta;
3. Yayasan Wadi Cidokom 1 ha Desa Kopo;
4. Yayasan Kristen Romo lebih kurang 40 ha di Desa
Sukaresmi;
5. Bapak Jepri lebih kurang 35 ha Desa Sukaresmi;
6. Bapak Sugito 60 ha Desa Citeko;
7. Brigjen Polisi Edwarsyah Pernong 17.800 m2 Desa
Sukagalih;
8. Jenderal Polisi Firman Gani 3 ha Desa Sukakarya;
9. Jenderal Polisi Condro Kirono lebih kurang 5 ha Desa
Sukakarya;
10. Kolonel Isar Sampiray MB 6.000 m2 Desa Sukagalih;
11. Masdya Pur Kusnadi 1 ha Desa Sukagalih;
12. Ibu Lili 10 ha Desa Kuta;
13. Perusahan sayuran Korea 7 ha di Desa Kuta;
14. Perusahan bunga Alessia 5 ha Desa Sukaresmi;
15. Markaz Syariah lebih kurang 30 ha di Desa Kuta;
16. Bapak Rosenvile 1 ha Kambing Sukaresmi;
17. Bapak Manurung 3 ha Sukakarya;
18. Anton Anggoman 3 ha Sukakarya;
19. Ibu Ina di Desa Kuta 3 ha;
20. Villa Bambu 2 ha Desa Kuta;
21. SMK di Desa Kopi;
22. Dokter gigi 5000 m2 pasir panjang Desa Sukakarya;
23. I Komang Agus Trijaya peternakan ayam 26.000 m2 di Desa
Sukagalih;
24. PT Saung Mirwan /Pak Loki 4 ha pertanian di Desa
Sukagalih;
25. Ibu Ningsih 1 ha Desa Sukagalih;
26. Bapak Sanjaya 9 ha di Desa Sukagalih;
27. Bapak Heru peternakan sapi 2,6 ha Desa Sukagalih;
28. Ibu Suryani 5 ha Desa Sukagalih;
29. Ibu Wong 3 ha Desa Sukagalih;
30. Bapak Waluyo 3 ha Desa Sukagalih.
Dan banyak lagi yang tidak ditulis satu per satu.
Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat
hanya menyoal lahan sekitar 30 ha yang dipakai Ponpes Markaz Syariah pimpinan
Habib Rizieq Shihab (HRS) saja, bukan termasuk yang lainnya?
Padahal, semua lahan itu kedudukannya sama dengan Ponpes Markaz
Syariah. Tidak lebih tidak kurang.
Yayasan Kristen Romo di Arca Domas, Desa Sukaresmi telah
berdiri 10 tahun sebelum Markaz Syariah datang, tapi tidak ada teguran dan
gangguan somasi dari Dirut PTPN VIII. Jika memang penegakan hukum, seharusnya
semuanya diminta kembali.
Tapi nyatanya, “Somasi Pertama dan Terakhir” ini hanya
khusus dan bersifat politis kepada Ponpes Markaz Syariah saja. Inilah yang
patut dipertanyakan kepada Dirut Yudayat. Padahal HRS itu membeli lahan
tersebut dari warga Megamendung.
Lahan Markaz Syariah itu dibeli dengan sah, bukan menyerobot
dari orang yang masih hidup dan siap bersaksi. HRS membeli dari beberapa orang
pemilik sebelumnya.
Antara lain yaitu: 1. Jenderal Polisi Dadang Garnida (eks
Kapolda Jawa Barat); 2. Jenderal Beni Angkatan Darat; 3. Serka Karman Suherman;
4. I Komang Agus Trijaya; 5. Herwantoni Salim (Jakarta); dan lain-lain.
Kemudian, lahan tersebut ditanda-tangani Ketua RT, RW,
Kepala Desa, dan disertai dengan Rekomendasi dari Camat, Bupati, dan Gubernur.
Malahan waktu itu Mentri BUMN Dahlan Iskan mengarahkan untuk memohon pelepasan
seluas 100 ha.
Jadi sangatlah ironis, pesantren yang bernapaskan Islam
didukung oleh RT sampai Menteri, hari-hari ini tiba-tiba akan “digusur” dan mau
menghilangkan keberadaan Markaz Syariah.
Padahal, seharusnya Markaz Syariah, yayasan anak bangsa yang
akan mencerdaskan umat, seharusnya Pemerintah mendukung kegiatan pendidikan ini
dan itu merupakan sebagian dari tanggung jawab Pemerintah.
Markaz Syariah itu merupakan anak bangsa yang akan
mencerdaskan anak negeri, semestinya Pemerintah memberikan tanah yang dimaksud,
dan memberikan dana pembangunannya. Tapi ini yang tidak dilakukan. Upaya PTPN
VIII ini justru kontra produktif.
Pusaran Korupsi
Pertanyaannya, mengapa Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat mau
“menggusur” Markaz Syariah? Apakah karena ada tekanan dari pihak berwenang
lainnya, sehingga dia menuruti apa kemauan “pihak ketiga” tersebut?
Boleh jadi, dan bukan tidak mungkin! Coba saja simak jejak
digital Mohammad Yudayat! Sebelum menjabat Dirut PTPN VIII, Yudayat tercatat
sebagai Direktur Keuangan PTPN III. Ia ikut dalam gelombang perombakan Direksi
PTPN III.
Seperti dilansir CNN Indonesia, Selasa (29/10/2019 14:34
WIB), perubahan manajemen ini tertuang dalam SK Menteri BUMN No.
SK-230/MBU/10/2019, 17 Oktober 2019, tentang Pemberhentian dan Pengangkatan
Anggota Dewan Komisaris Perusahaan;
Dan, SK-231/MBU/10/2019 pada 17 Oktober 2019 tentang
Perubahan Nomenklatur Jabatan, Pengalihan Tugas, dan Pengangkatan Anggota
Direksi PT Perkebunan Nusantara III.
Sebelumnya, Direktur Utama PTPN III Dolly Pulungan dan
Direktur Pemasaran PTPN III I Kadek Kertha Laksana ditetapkan sebagai tersangka
dalam kasus dugaan suap distribusi gula.
KPK menduga Dolly meminta uang 345 ribu dolar Singapura pada
Senin (2/9/2019) untuk keperluan pribadi kepada PT Fajar Mulia Transindo selaku
distributor yang ‘dimenangkan’ perseroan dalam lelang distribusi gula.
Sementara itu, I Kadek Kertha Laksana telah ditahan KPK.
Kadek terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan pada Selasa
(3/9/2019). Berikut susunan direksi Perkebunan Nusantara III:
Plt Direktur Utama: M. Abdul Ghoni; Wakil Direktur Utama: M.
Abdul Ghoni; Direktur SDM & Umum: Seger Budiarjo; Direktur Keuangan:
Mohammad Yudayat; Direktur Pemasaran: Dwi Sutoro; Direktur Pelaksana: Ahmad
Haslan Saragih; Direktur Operasi dan Pengembangan: Mahmudi.
Melansir Alinea.id yang mengutip dari Antara, Senin (17 Feb
2020 11:16 WIB), Mohammad Yudayat yang menjabat Direktur Keuangan PTPN III
disebut kembali ketika ada perubahan jajaran direksi PTPN III Holding
(Persero). Kali ini diberhentikan dengan hormat.
Penunjukan jajaran direksi baru tersebut berdasarkan SK
Nomor 48/MBU/02/2020 tentang pemberhentian, perubahan nomenklatur, dan
pengangkatan jajaran direksi.
Dalam SK tersebut, Mohammad Abdul Gani diangkat sebagai
Direktur Utama, Denaldy Mulino Mauna sebagai Wakil Direktur Utama, Seger
Budiarjo sebagai Direktur Umum.
Selanjutnya, M. Iswahyudi sebagai Direktur Keuangan, dan
Wing Antariksa sebagai Direktur SDM. Selain itu, Menteri BUMN Erick Thohir
memberhentikan dengan hormat Mohammad Yudayat sebagai Direktur Keuangan.
Sebelumya, Mohammad Abdul Ghani menjabat Plt. Dirut PTPN III
Holding dan Denaldy Mulino Mauna sebagai Dirut Perum Perhutani. M. Iswahyudi
sebelumnya sebagai bankir di Bank Mandiri dan Wing Antariksa pernah menjabat
Direktur SDM PT ASDP (Persero).
Sekretaris Perusahaan PTPN III Holding Irwan Perangin-Angin
sempat mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih kepada Mohamad Yudayat yang
berkesempatan mengabdi di PTPN III Holding dan telah banyak memberi manfaat
bagi perseroan.
Meski sempat menjabat sebagai Direktur Keuangan PTPN III
Holding, Mohammad Yudayat masih belum bisa membantu PTPN III yang terancam
gagal membayar utang Rp 25,1 triliun. Dengan rincian, sebesar Rp16,1 triliun di
level unsustain alias sulit dibayar perusahan.
Seperti dilansir Gatra.com, Rabu (20 Nov 2019 20:10),
sisanya Rp 9 triliun, di level moderat atau berpotensi gagal bayar pinjaman
pokok. Sementara, per 31 Desember 2018, utang PTPN Holding kepada pihak
perbankan telah mencapai Rp37,8 triliun.
Hal ini terungkap dalam salinan surat PTPN III, sebagai
induk PTPN, kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara
(Jamdatun), Kejaksaan Agung, pada 9 Juli 2019.
Dalam surat yang ditandatangani Direktur SDM Umum Seger
Budiarjo tersebut, PTPN III meminta pendapat hukum mengenai aksi korporasi yang
akan dilakukan.
Untuk menyelesaikan utang PTPN Holding, PTPN III berencana
menjual aset BUMN (asset settllement) dengan mekanisme novasi kredit dan jual
putus.
Novasi kredit yang dimaksud PTPN III, yaitu mengalihkan
sebagian utang PTPN dari perbankan kepada pihak lain. Sedangkan mekanisme jual
putus, yaitu penjualan aset milik PTPN Holding untuk menyelesaikan kewajiban
kepada pihak lain.
Maklum, jika salah-salah ambil langkah, pemulihan utang
dengan dua mekanisme di atas bisa diperkarakan. Maka itu, Seger Budiarjo dalam suratnya
tersebut meminta penjelasan kepada Kejagung, mengenai aksi korporasi penjualan
aset BUMN tadi.
“Bagaimana prosedur aksi korporasi di atas sesuai ketentuan
perundangan yang berlaku?” begitu tertulis di surat PTPN III ke Kejagung.
Direktur Keuangan PTPN III Mohammad Yudayat optimis bahwa
PTPN III Holding mampu membayar semua utang-utang korporasi. “Sejauh ini kita
masih bisa serve kewajiban utang PTPN III Holding,” ujarnya kepada Gatra.com.
Ia mengatakan, penjualan aset BUMN bukan satu-satunya opsi
yang akan dijalankan PTPN Holding, untuk membayar utang. “Kita punya banyak
opsi untuk melunasi kewajiban,” kata Mohammad Yudayat.
Anggota BPK Achsanul Qosasi mengungkapkan, pihaknya telah
mengaudit keuangan PTPN Holding. Hasilnya, PTPN Holding memiliki utang sebesar
Rp 39 triliun per 31 Maret 2019. “Itu menjadi gabungan seluruh PTPN. Menjadi
beban Holding, tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya kepada Gatra.com,
(20/11/2019).
Achsanul Qosasi mengatakan, untuk menyelesaikan kewajiban
korporasi, PTPN harus segera melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. “Agar
cash flow tidak terganggu,” katanya.
Mungkinkah Dirut PTPN VIII Mohammad Yudayat khawatir jika
namanya dikaitkan dalam “pusaran korupsi” di PTPN III?
Oleh: Mochamad Toha (Wartawan senior FNN)