Kepada wartawan di Kantor Komnas HAM di Jakarta, Suhada
mengaku keluarga sangat terpukul dengan peristiwa itu.
“Kami keluarga sangat terpukul,” ungkap Suhada.
Yang tak kalah membuat terpukul adalah, Suhada menyebut
bahwa polisi bukan saja membunuh anaknya.
Tapi juga sudah memfitnah karena menyebut anaknya membawa senjata.
“Karena setelah dibunuh kemudian difitnah membawa senjata api,
senjata tajam dan lain sebagainya,” sambungnya.
Hal lain yang membuat keluarga tidak terima adalah
pernyataan polisi yang menyebut anaknya melakukan penyerangan.
“Yang paling mengenaskan, anak kami dianggap menyerang
polisi,” tuturnya.
Menurutnya, itu adalah keterangan sepihak kepolisian yang
sangat tidak logis.
“Karena putra kami sedang mengawal atau konvoi kendaraaan
untuk menuju Karawang,” katanya.
Usai mengetahui anaknya tewas dalam peristiwa tersebut,
sambungya, ia langsung bergegas sendiri ke Rumah Sakit Polri Kramat Jati.
Sesampainya di sana, ia malah tak diperbolehkan melihat
jenazah anaknya.
“Saya diusir setibanya sampai di sana,” bebernya.
Suhada juga mengungkap bahwa saat melihat jenazah anaknya,
terdapat luka bekas tembakan di dada kiri.
“Dadanya sebelah kiri ada (bekas) tembakan dan ditangannya
ada lebam penyiksaan,”
“Ini sangat membuat kami sangat terpukul,” tandas Suhada.
Sebagai informasi, Komnas HAM telah menerima dokumen berupa
CCTV dari Jasa Marga dan foto enam jenazah dari RS Polri sebelum dilakukan
autopsi.
Hal ini untuk membuka informasi simpang siur mengenai
tewasnya enam simpatisan FPI.
Pasalnya, baik polisi maupun FPI sama-sama bersikukuh dengan
versi masing-masing.
Polisi menyebut, anggota Polri terpaksa menembak laskar FPI
karena mendapat perlawanan dengan senjata api dan senjata tajam.
Namun hal itu dibantah oleh FPI yang menyebut keterangan
polisi tidak benar.
Versi FPI, justru polisi yang menyerang laskar FPI sekaligus
membantah pernyataan polisi terkait kepemilikian senjata api dalam peristiwa
tersebut. (*)