SETELAH Calon Presiden 2019 Prabowo Subianto menjadi menteri
dalam kabinet Jokowi, kini Calon Wapres Sandiaga Uno juga masuk kabinet.
Komitmen awal untuk siap menjadi oposisi 5 tahun ke depan
runtuh sudah. Rekor MURI patut disematkan untuk sejarah demokrasi bangsa dimana
Prabowo-Sandi ternyata senang hati menjadi "pembantu" Jokowi.
Prabowo yang galak saat kampanye membuat pendukung bangga
dan mengacungkan jempol. Soekarno baru telah muncul.
Pendukung rela mengorbankan harta benda demi sukses
perjuangan sang panutan. Pengorbanan pendukung di samping mengumpulkan dana
kampanye juga dengan pengorbanan jiwa, tewas 6 atau bahkan 9 orang dan
luka-luka 600 orang saat aksi protes di depan Bawaslu pada 21-22 Mei 2019.
Kini kejutan terjadi. Setelah diumumkan oleh Jokowi bahwa
Sandiaga Uno menjadi salah satu menteri hasil reshuffle, maka lengkaplah kekecewaan
pendukung PS-Uno. Ada yang karena sakit hati menyumpahi dengan predikat
"penghianat".
Keduanya menjadi bahan olok-olok di media sosial sebagai
performance manusia yang tidak istiqamah. Pertimbangan didominsi oleh kalkulasi
untung rugi.
Sebagian lagi pendukung sudah tak peduli pada keduanya,
berkonklusi bahwa memang seperti itulah kualitasnya. Bahkan ada yang bersyukur
untung katanya tidak menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
Ketika rakyat menghadapi masalah seperti tokoh yang
dikriminalisasi, gonjang-ganjing perundang-undangan yang merugikan rakyat, atau
kasus pelanggaran HAM oleh aparat, Prabowo diam seribu bahasa dan Sandi pun tak
muncul komentar, apalagi pembelaan.
Dalam kaitan kehidupan demokrasi masuknya PS-Uno dalam
kabinet Presiden Jokowi menjadi catatan sejarah hitam. Baru kali ini terjadi di
Indonesia, mungkin juga di dunia.
Catatan hitam, karena buruk sebagai preseden. Bahasanya,
jika cuma sekedar mau jadi menteri, buat apa bertarung habis-habisan dalam
pilpres. Jadi pendukung lawan saja dari dahulu.
Catatan hitam lain adalah membunuh budaya pengawasan dan
perimbangan kekuatan. Semestinya kontrol terhadap kekuasaan itu harus kuat.
PS-Uno dapat memimpin kekuatan pengawasan dan perimbangan
ini. Akan tetapi dengan masuknya PS-Uno dalam kabinet Jokowi maka hal itu sama
saja dengan memperkokoh oligarkhi.
Apa boleh buat, catatan sejarah hitam telah ditorehkan oleh
PS-Uno dengan merusak sendi demokrasi bangsa. Secara tak disadari keduanya
telah berkontribusi dalam membangun kultur otokrasi. Jokowi yang semakin
jumawa.