Demikian dikatakan Direktur Pamong Institute Wahyudi al
Maroky dalam artikel berjudul “Wacana Presiden Tiga Periode, Menuju Kerajaan
& Otoriter?”
Kata Wahyudi, jika jadi diamendemen, maka jalan bagi
Presiden Joko Widodo untuk menjabat tiga periode terbuka lebar. Apalagi wancana
tiga periode ini jauh hari sudah mendapat sambutan hangat dari Ketua Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR).
“Puan Maharani mengatakan bahwa wacana masa jabatan presiden
selama tiga periode perlu dikaji. Wacana tersebut nantinya akan dibahas di
Komisi II DPR yang membidangi pemerintahan,” ungkapnya.
Wahyudi mengatakan, isu presiden tiga periode ini bukanlah
isu biasa tanpa makna politik. Presiden merupakan jabatan politik paling
prestisius. Apalagi ada respon hangat dari ketua DPR RI. “Bahkan ada sinyal
lampu hijau untuk dikaji. Ini maknanya ada waktu sekitar empat tahun untuk
mempersiapkan segala sesuatunya menuju 2024. Baik terkait amandemen konstitusi
maupun prakondisi dukungan dari para politisi lintas partai lainnya,” jelasnya.
Ia mengatakan, jika berhasil amandemen menjadi tiga periode,
bukan tak mungkin akan bisa bertambah lagi bisa seumur hidup. Bukankah dulu
dengan TAP MPRS No. III/MPRS/1963, Soekarno bisa menjadi presiden seumur hidup?
Apakah MPR saat ini akan mengamandemen Konstitusi?
“Dalam politik semua serba mungkin dan bisa saja terjadi.
Namun Jika itu terjadi maka hakekatnya sudah menuju sistem Kerajaan (otokrasi),
bukan demokrasi lagi,” ungkapnya.
Bagi kaum reformis, penambahan masa jabatan ini
pengkhiatanan hasil reformasi. Tentu bayangan pemimpin yang kian diktator sudah
di depan mata. Saat ini pun tanda-tanda ke arah otoriter pun semakin tampak.
Jika diteruskan maka akan semakin dekat pada praktek sistem pemerintahan
otokrasi (kerajaan).
“Belum jadi otokrasi pun sudah terasa sangat represif. Sudah
banyak aktivis yang ditangkap karena bersuara kritis terhadap rezim. Ada
beberapa aktivis KAMI dan beberapa aktivis lainnya, seperti Jonru Ginting,
Ahmad Dani, Ali Baharsyah, Gus Nur, Habib RS, Syahganda Nainggolan, Jumhur
hidayat, dll. Mereka yang mengkritisi kebijakan penguasa dengan cepat diproses
hukum. Sementara yang pro rezim tidak demikian,” pungkasnya.