Salah satu kemungkinan skenario luar biasa yang dikemukakan
Qodari adalah berduetnya Joko Widodo dengan Prabowo Subianto. Jokowi memiliki
kemungkinan menjabat sebagai presiden dalam tiga periode bersama Prabowo
melalui amendemen UUD 45.
Qodari menyampaikan hal itu dalam webinar Foreign Policy
Community of Indonesia (FPCI) yang bertajuk “Indonesia’s Economic and Political
Outlook 2021”, Kamis (17/12/2020).
Awalnya Qodari menyampaikan tentang prediksi kondisi 2021
yang dinilainya akan aman karena tidak ada peristiwa politik besar seperti
Pilkada serentak 2020.
Nah, menurut Qodari, di tahun 2021 ini akan ada pembahasan
mengenai revisi UU Pilkada dan Pemilu oleh DPR, di mana isu yang akan dibahas
diantaranya terkait kemungkinan akan diadakan lagi pilkada tahun 2022 dan 2023.
“Khususnya oleh partai-partai menengah dan kecil, tapi
menurut saya partai-partai besar seperti PDIP, kemudian Gerindra dan Golkar ada
kemungkinan menolak (menolak adanya Pilkada 2022 dan 2023),” ungkapnya.
*Salah satu Pilkada 2022 seharusnya DKI Jakarta. Kalau
Pilkada DKI digelar 2022 tentu akan menguntungkan inkumben Anies Baswedan.
Kalau Anies menang Pilkada 2022, maka sangat potensial jadi capres 2024. Tapi
sepertinya partai-partai besar akan menolak Pilkada 2022, dan memundurkannya
jadi Pilkada 2024 bersamaan dengan Pilpres 2024. Skenario terakhir ini akan
merugikan posisi Anies. Anies akan tetap selesai dari jabatan Gubernur pada
2022. Dan bakal nganggur. Otomatis susah untuk maju Pilpres 2024.*
Penolakan 3 partai tersebut, kata Qodari dengan syarat
mereka sudah mempunyai rencana atau kesepakatan mengenai desain politik pada
pilpres 2024 yang akan datang.
“Desain politiknya seperti apa, ada beberapa kemungkinan
termasuk kemungkinan-kemungkinan yang ‘extreme’ atau luar biasa,” jelasnya.
Qodari menerangkan, kemungkinan yang luar biasa itu
setidaknya ada dua.
Pertama, kemungkinan Joko Widodo maju presiden untuk ketiga
kalinya, tetapi kali ini dengan Prabowo Subianto sebagai Wakil Presidennya.
“Tentu saja hal ini memerlukan amendemen UU Dasar 1945,” bebernya.
Kedua, lanjut Qodari, Prabowo maju sebagai calon Presiden
dengan wakilnya berasal dari PDIP.
“Kemungkinan skenario pertama bisa saja terjadi untuk
menciptakan stabilitas politik sekaligus menghindari pemilu yang mengerikan
seperti pada Pilpres sebelum-sebelumnya yang melahirkan dikotomi Cebong dan
Kampret,” terangnya.
Qodari menilai sosok Jokowi dan Prabowo merupakan
representasi atau simbol dari pengelompokan di masyarakat Indonesia, sedemikian
hingga pada momentum Pilpres 2019 terlahir istilah cebong dan kampret yang
bertahan sampai saat ini.
Jika keduanya bergabung maka tidak ada lagi dikotomi
"cebong" dan "kampret" pada pemilu yang akan datang, imbuh
sarjana psikologi UI dan master ilmu pemerintahan Essex University, Inggris
itu.
“Makanya kemungkinan semacam itu bisa saja terjadi, yaitu
demi menjaga stabilitas dan menghindari Pemilu Presiden yang mengerikan di mana
terjadi pembelahan seperti halnya 'cebong' dan 'kampret' di Pilpres 2019,”
tuntasnya.